LOPOU NI MANSEN PURBA SH

Ase hubahen pe lopou on aima ase dong ianan manippan lanjar paradeihon nahusuratkon sadokah ni on pakon na laho roh. Sonai homa do age tulisan atap surat ni halak pasal na huparadei in, lang tarsibar atap boi iparujahon simbuei. Hira songon perpustakaan ma on, gariada boi homa do holi gabe ianan mardiskusi.

My Photo
Name:
Location: Medan, Sumatera Utara, Indonesia

Bani KTP-ku tarsurat do: Nama lengkap: Mansen Purba SH; Jenis kelamin: Pria, Tempat/tgl. lahir: Pematang Raya, 03-06-1937. Kawin/Tidak kawin: Kawin; Agama: Protestan (ai ma Kristen Protestan); Pekerjaan: Dosen IKIP Medan (hape namin Pensiunan Pegawai Negeri Sipil, ai domma humbani tahun 1972 nari au pensiun hun IKIP Medan); Alamat: Jl. Karya No. 155; RT/RW: Lk XI; Kelurahan/Desa: K. Berombak ; Kecamatan: Medan Barat). Piga-piga hasoman na umposo, sonon do nini au: "Pak Mansen adalah tokoh awam Gereja dan tokoh budaya Simalungun yang bagi saya menjadi sumber inspirasi dan Guru." (Elvina Simanjuntak, aktivis gereja, tinggal di P. Siantar). "Tak berlebihan bila saya merasa MP dalam waktu yang singkat telah menjadi Guru bagi saya. Guru dengan G besar. Ia menjadi Guru bagi saya tentang Simalungun, tentang bagaimana 'menjadi dan sebagai' orang Simalungun yang oleh orang Simalungun kerap diartikan sebagai MarSimalungun." (Eben Ezer Siadari, wartawan) Jadi ise do ahu sasittongni? Nasiam ma simada balosni, dobkonsi ibasa nasiam nahusuratkon i lopou on. Diatei tupa ma.

27 October 2005

SITUASI, KONDISI DAN POTENSI SENI BUDAYA SIMALUNGUN

Pendahuluan
Dalam suasana heja menyongsong Jubileum 100 Tahun Injil Di Simalungun, melalui Seminar Sehari “Peranan Seni Budaya Simalungun Dalam Kehidupan Kristen”, kita diundang mempercakapkan “Situasi, Kondisi dan Potensi Seni Budaya Simalungun”. Dalam kerangka acuan seminar tercantum maksud dan tujuan kajian ini, yakni dalam rangka (1) menjemaatkan pemahaman dan pengertian tentang seni budaya Simalungun sebagai suatu nilai yang dapat memperkaya dan menyempurnakan kehidupan Kristiani, (2) mengidentifikasi potensi seni budaya Simalungun yang mempunyai peranan positif dalam menumbuhkembangkan kehidupan Kristiani, dan (3) meningkatkan komitmen dan apresiasi warga GKPS dan masyarakat Simalungun untuk mencintai dan melestarikan seni budaya Simalungun. Namun, kiranya tidak berkelebihan jika kajian ini juga dimanfaatkan untuk mempertanyakan kesetiaan gereja (dalam hal ini GKPS) melaksanakan panggilan dan suruhan “pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku . . . “ (Mat. 28, 19), sekaligus mempertanyakan kesungguhan pengakuan GKPS yang tercantum dalam “Pembukaan” Tata Gereja GKPS:“Bahwa hadirnya Injil di tengah-tengah Simalungun sejak 2 September 1903 adalah anugerah Allah yang memanggil dan menghantar Simalungun dari alam kegelapan kepada terang Firman Allah”. (“Pengakuan” ini tercantum dalam alinea ke-2 “Pembukaan” Tata Gereja GKPS yang dihasilkan Synode Bolon GKPS tahun 1973, 1988 dan 1999. Kiranya tidak perlu diragukan bahwa yang dimaksud dengan Simalungun disini adalah suku bangsa Simalungun, bukan tanoh (=negeri) Simalungun). Dengan penambahan tujuan ini, seni budaya Simalungun tidak hanya dilihat dari segi potensinya menumbuhkembangkan atau menyempurnakan kehidupan Kristiani, tetapi sekaligus melihat seni budaya Simalungun yang berkenan kepada Allah, sebagai bagian dari kasih karunia Allah “menjadikan semua bangsa menjadi muridNya”, termasuk suku bangsa Simalungun. Dengan demikian, kita terundang melestarikan seni budaya Simalungun dalam rangka kesetiaan meneruskan kehendak Allah “memanggil dan menghantar Simalungun dari alam kegelapan kepada terang Firman Allah”, bukan sekedar mengekploitasi seni budaya Simalungun untuk mencapai tujuan tertentu.

Seni Budaya Simalungun menghadapi tantangan zaman
Pada umumnya budaya turut menentukan eksistensi suatu bangsa, walaupun tidak selalu merupakan faktor penentu yang paling dominan. Seringkali suatu bangsa dibedakan dengan bangsa lainnya karena adanya perbedaan budaya.
Khusus untuk suku bangsa Simalungun, eksistensinya sebagai suku bangsa dapat bertahan hingga milenium ke-3 ini terutama berkat budayanya yang tetap berbeda dengan budaya suku bangsa lainnya.
Tanoh (=Negeri) suku bangsa Simalungun pernah terbagi dalam beberapa kerajaan (terakhir terbagi dalam 7 wilayah Kerajaan). Eksistensinya sebagai satu suku bangsa tetap bertahan karena semua kerajaan-kerajaan ini meneruskan budaya yang diwarisinya dari pendahulunya.
Dalam perjalanan sejarahnya, sebagian suku-bangsa Simalungun memilih marpuang (=bertuan, menundukkan diri) ke penguasa daerah tetangganya – seperti Deli, Serdang, Asahan, Karo. Sebagian daripadanya tetap mempertahankan budaya Simalungun sehingga tetap mendapat pengakuan sebagai suku bangsa Simalungun. Tetapi sebagian lagi menanggalkan budaya Simalungun sehingga kehilangan identitasnya sebagai suku banga Simalungun.
Sebelum Belanda berkuasa di Simalungun, setiap pendatang (dari suku bangsa lain) yang masuk ke Simalungun biasanya mengintegrasikan diri dengan cara mengadopsi kebudayaan Simalungun. Karena itu tidak heran jika banyak orang Simalungun yang walaupun secara silsilah berasal dari suku bangsa simbalog (=tetangga), namun telah menjadi orang Simalungun karena berbudaya Simalungun. Sesudah Belanda menancapkan kuku penjajahannya ke Simalungun (Kerajaan Siantar, 1888; Kerajaan Tanoh Jawa, 1889; Panei, Dolog Silou dan Raya, 1904), para pendatang tidak lagi merasa perlu mengintegrasikan diri, bahkan sebaliknya, Pemerintah Hindia Belanda mengelompokkan pendatang (terutama transmigran dari Tapanuli yang didatangkan untuk membuka persawahan untuk kepentingan buruh perkebunan). Sejak itu pulalah budaya Simalungun mendapat pengaruh yang kuat dari budaya simbalog (=tetangga diseberang perbatasan).
Selain dari masuknya budaya simbalog ke tanoh Simalungun, eksistensi Simalungun (dalam arti ancaman terhadap eksistensi budaya Simalungun) terancam juga dengan masuknya agama Islam dan agama Kristen ke Simalungun. Kedua agama ini masuk dalam waktu yang hampir bersamaan.
Penerimaan agama Islam oleh orang-orang Simalungun tempo doeloe rupanya mengubah secara drastis hasimalungunon-nya, sehingga mereka yang menerima agama Islam disebut “domma gabe Malayu” (=sudah menjadi Melayu). Selain agamanya menjadi sama dengan Melayu, budayanya juga sudah hampir sama dengan Melayu. Akhir-akhir ini, tampaknya sudah ada upaya untuk mempertahankan identitas Simalungun di kalangan masyarakat Simalungun yang beragama Islam.
Masuknya Injil ke Simalungun (sejak 1903) pada awalnya merupakan ancaman serious terhadap eksistensi budaya Simalungun.
Bahasa Simalungun terancam punah karena digunakannya Bahasa Toba sebagai bahasa pengantar dalam penginjilan dan di sekolah-sekolah (zending). Hal ini sempat berlangsung lebih 30 tahun. Berkat perjuangan yang gigih dari dua bersaudara, Pangulu Balei Jaudin Saragih dan Pendeta J. Wismar Saragih, akhirnya Bahasa Toba tidak lagi digunakan di gereja dan di sekolah-sekolah. Bahkan berkat diterbitkannya Injil dalam Bahasa Simalungun (hasil terjemahan putera Simalungun sendiri, Pendeta J. Wismar Saragih), secara tidak langsung Bahasa Simalungun mengalami pembakuan. (Tentang terjadinya pembakuan bahasa Simalungun, Pdt. J. Wismar Saragih membandingkannya dengan bahasa Jerman yang konon menjadi bahasa kesatuan Jerman berkat diterjemahkannya Injil oleh Martin Luther ke bahasa Jerman). Sukar membayangkan bagaimana nasib Bahasa Simalungun seandainya Bahasa Toba terus digunakan oleh orang Simalungun dalam kebaktian maupun di sekolah-sekolah.
Seni musik Simalungun terdesak dengan hebat di awal masuknya Injil ke Simalungun. Doding-doding Simalungun lambat laun memudar sejalan dengan semakin populernya nyanyian yang berasal dari Eropa melalui Buku Doding (=Kidung Jemaat) “Haleluya”. Hagualon bahkan sempat diperangi oleh Gereja (dalam arti mendapat larangan keras dari Gereja), karena dianggap dapat “menghidupkan kembali” hasipelebeguon/hasipajuh-begu-beguon, yakni agama lama (yang diidentikkan dengan animisme atau pemujaan berhala).
Seni berbusana khas Simalungun, khususnya pemakaian gotong dan bulang, juga semakin memudar seiring dengan semakin banyaknya orang Simalungun memeluk agama Kristen (dan Islam). Di kalangan Kristen, perkembangan tersebut antara lain disebabkan oleh masuknya budaya (=kebiasaan) Barat melalui Gereja yang memandang tidak sopan memakai penutup kepala (topi atau sejenisnya) pada saat kebaktian.
Seni melestarikan lingkungan hidup juga mengalami erosi dengan masuknya Injil. Jika dulunya terdapat pantangan-pantangan menebas hutan secara serampangan, pantangan-pantangan tersebut tidak dihiraukan lagi karena dianggap mengandung animisme. Bahkan harangan parsinumbahan di hulu sungai sekalipun ditebas habis, antara lain untuk menunjukkan (bersaksi?) keimanannya kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Aspek budaya lainnya, yakni adat perkawinan Simalungun juga turut mengalami erosi, walaupun beberapa diantaranya justru terselamatkan oleh Gereja.
Dengan dijadikannya peneguhan (pemberkatan) perkawinan di Gereja sebagai “pengesahan” perkawinan, maka horja paunjuk anak atau horja marpanayok (=perhelatan adat yang bersifat mengesahkan terjadinya perkawinan), semakin terabaikan.
Sebaliknya, adat marlua-lua (=“kawin lari”) dapat lestari karena Gereja meperkenankannya dengan syarat maningon iboan hu rumah ni Sintua (=harus dibawa ke rumah Sintua), tidak boleh dibawa langsung ke rumah keluarga pihak mempelai laki-laki (dan langsung melaksanakan horja paunjuk anak / horja marpanayok untuk memperoleh pengesahan perkawinan).
Demikian juga dengan adat pajabu parsahapan (yang dapat diartikan meminang), tampaknya akan bertahan karena Gereja mengharuskan adanya persetujuan keluarga kedua belah pihak calon mempelai agar dapat dilaksanakan kebaktian manjalo parpadanan (yang maksudnya mengadakan perjanjian akan menikah; akhir-akhir ini sering juga disebut martuppol, suatu istilah yang berasal dari Bahasa Toba).
Akhir-akhir ini, eksistensi budaya Simalungun mendapat gempuran dahsyat dari pengaruh budaya simbalog dan dari semangat nasionalisme (Indonesia) dan semangat kesukuan (haBatahon) yang berlebihan.
Walaupun GKPS sudah berusaha mendorong ditumbuh-kembangkannya kembali doding-doding khas Simalungun (yakni yang sering disebut inggou Simalungun) untuk dijadikan nyanyian pada kebaktian, namun dominasi irama yang berasal dari simbalog demikian kuatnya mendesak inggou Simalungun. Lagi pula, pencipta doding Simalungun sekaliber Taralamsyah Saragih (almarhum) atau St. A. K. Saragih tidak muncul lagi. Walaupun belakangan ini bermunculan lagu-lagu Simalungun, tampaknya ciri khas Simalungun hanya terdapat pada liriknya (syairnya), sedang inggou-nya tidak menunjukkan ciri khas Simalungun. Jika diperdengarkan tanpa syair, pendengarnya pasti mengira lagu tersebut berasal dari Tapanuli Modern, atau dari India, atau dari Amerika Latin.
Gereja juga sudah mendorong agar hagualon dihidupkan kembali (a.l. dengan mengikut-sertakannya dalam pesta-pesta gerejani). Upaya ini tampaknya menghadapi kendala karena penabuh gendang dan peniup sarunei (=sejenis alat musik tiup) sudah sangat langka akibat lamanya tekanan Gereja terhadap hagualon di masa lampau. Lagi pula, fungsi gonrang sudah diambil alih oleh “key-board” dan atau alat musik modern (termasuk tarompet yang sempat mendapat tempat terhormat di Gereja), baik dalam pesta perkawinan maupun untuk mandingguri (=menggelar musik gonrang yang dikhususkan untuk upacara berkaitan dengan kematian orangtua yang sudah bercucu). Gonrang, demikian juga dengan tortor (=tarian), hampir tidak pernah lagi digunakan dalam upacara-upacara adat. Sesekali muncul dalam pertunjukan (show), berkat adanya sponsor. Hampir tidak pernah ada show kesenian Simalungun yang dibiayai oleh penontonnya (melalui penjualan tiket).
Karena itu sudah dapat diduga, hagualon akan tenggelam diterjang pengaruh seni budaya simbalog. Tragisnya, tidak ada pula “hartawan” Simalungun yang mau menggantikan “hartawan” tempo doeloe (yakni para partuanon) melaksanakan fungsi pembina kesenian. (Di zaman Kerajaan dulu, Rumah Bolon (Istana Kerajaan/Partuanon) berfungsi sebagai pembina seni budaya. Para seniman mendapat kedudukan terhormat, boleh tinggal di Pamatang (=Ibukota) atas tanggungan Rumah Bolon).
Di bidang bahasa pun tampaknya belum muncul pejuang Bahasa Simalungun segigih Pdt. J. Wismar Saragih. Bahkan, dari mimbar gereja sudah semakin sering dikumandangkan hata tabas (=bahasa mantera), yakni bahasa “gado-gado”, mencampur-adukkan kata-kata yang bersumber dari berbagai bahasa, dengan maksud agar khotbahnya dimengerti pendengarnya dan “lebih berwibawa”.
Di bidang pelaksanaan tata upacara adat, Gereja tampaknya bersikap enggan menggunakan pengaruhnya. Gereja seolah sudah cukup puas jika dalam rangkaian tata upacara adat diselipkan doa dan kidung jemaat, sebelum dan sesudah makan bersama, atau sebelum dan sesudah menyampaikan pidato penghiburan pada tata upacara menghadapi peristiwa kematian. Bahkan Gereja tidak mempunyai kepedulian terhadap perikehidupan yang penuh kepura-puraan yang sering terjadi dalam pelaksanaan upacara adat, yakni upacara adat yang dilakukan tanpa memahami makna yang terkandung di dalam tata upacara tersebut, semata-mata hanya sekedar “pertunjukan” (show).
Perkembangan situasi dan kondisi tersebut jelas sangat mengkhawatikan bagi eksistensi seni budaya Simalungun. Jika kelak tidak ada perbedaan yang nyata antara seni budaya Simalungun dengan seni budaya suku bangsa lainnya, - misalnya sudah sama dengan seni budaya Toba - maka dengan sendirinya seni budaya Simalungun tidak ada lagi. Dengan sendirinya pula suku bangsa Simalungun tidak eksis lagi. Jika tidak ada upaya yang sungguh-sungguh untuk mempertahankan eksistensi seni budaya Simalungun, tampaknya suku bangsa Simalungun tidak ada lagi pada Jubileum 200 Tahun Injil di Simalungun. Sehingga sia-sialah “anugerah Allah yang memanggil dan menghantar Simalungun dari alam kegelapan kepada terang Firman Allah”.

Potensi Seni Budaya Simalungun
Kiranya sudah cukup jelas bahwa seni budaya Simalungun (khususnya bahasa, kesenian, adat istiadat) sangat potensial dalam upaya menyelamatkan eksistensi suku bangsa Simalungun, dalam upaya memenuhi panggilan dan suruhan “pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku . . . “ (Mat. 28, 19).
Dalam hubungan ini, patut dicatat bahwa GKPS sudah memprogramkan pelestarian budaya, khususnya budaya Simalungun (seni budaya, khususnya Bahasa Simalungun, kesenian serta adat istiadat, khususnya Simalungun). Program Budaya ini dimasukkan dalam kelompok program “Pelayanan”. Program ini dilandasi pokok pikiran: GKPS bertanggungjawab melestarikan nilai-nilai budaya sebagai pemberian Tuhan. (“Pelayanan” terdiri atas pelestarian lingkungan, pendidikan dan pengajaran, peningkatan kesejahteraan, pengasihan, dan budaya. Lihat “Garis-Garis Besar Kebijaksanaan Umum (GBKU) GKPS” dan “Program Lima Tahun (Prolita) GKPS” Tahun 2000-2005).
Sayangnya, pokok pikiran yang melandasi program pelestarian budaya Simalungun tersebut tampaknya dapat juga digunakan untuk mempercepat proses memudarnya seni budaya Simalungun diterjang budaya simbalog, sebab budaya simbalog pun termasuk juga budaya pemberian Tuhan.
Akan sangat lebih tepat, jika program pelestarian budaya Simalungun tersebut didasarkan pada pokok pikiran: GKPS bertanggungjawab melestarikan budaya Simalungun dalam rangka kesetiaan melaksanakan panggilan dan suruhan “pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku . . . “.
Seni budaya Simalungun juga terbukti sangat potensial menyukseskan penginjilan di Simalungun. Seperti sudah dikemukakan tadi, dalam 25 tahun pertama penginjilan di Simalungun, potensi seni budaya Simalungun (dalam hal ini Bahasa Simalungun) disepelekan. Bahkan, pengabaian Simalungun sebagai suku bangsa jelas terlihat dari bunyi telegram RMG kepada Nommensen, yang melihat tanoh Simalungun sebagai Timorlanden (=tanah/negeri sebelah Timur (?)). Karena itu penginjil yang datang ke Simalungun memaksakan digunakannya Bahasa Toba sebagai bahasa pengantar penyampaian Injil (dan di sekolah-sekolah). Ternyata dalam 25 tahun pertama penginjilan di Simalungun, hanya 900 orang yang berhasil dibaptis, itupun sebagian diantaranya bukan karena sudah beriman kepada Yesus, tetapi karena ingin melanjutkan pendidikan. (Ketika itu, hanya yang sudah dibaptis yang diperkenankan melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi (seperti ke Sekolah Guru). Pdt. J. Wismar Saragih dan Guru Jason Saragih, putera Simalungun pertama menjadi Guru, termasuk mereka yang mau menerima baptisan untuk mendapatkan izin melanjutkan studi. (Lihat Otobiograpi J. Wismar Saragih dan Mansen Purba SH “Guru Dihar Gabe Sekolah Minggu” (judul asli: Guru Dihar gabe Sekolah Guru) dalam Majalah Bulanan Ambilan Pakon Barita No. 336/April 2002). Sejak Bahasa Simalungun digunakan sebagai bahasa pengantar penginjilan, jumlah yang menerima baptisan meningkat dengan pesat.
Budaya adat Simalungun juga patut diduga sangat potensial dalam penginjilan. Kongsi Laita, yakni kelompok penginjilan yang dibentuk kaum awam tahun 1930, memanfaatkan hubungan kekerabatan dalam melaksanakan penginjilan. Terkadang disertai dengan tata cara yang lazim dilakukan menurut aturan adat jika berkunjung ke kerabatnya, seperti menyampaikan sekapur sirih sebelum mengutarakan maksud kedatangannya, membawa makanan (hidangan adat), memulai percakapan dengan terlebih dahulu martutur (yang maknanya saling menelusuri hubungan kekerabatan), dll. (Lihat St. P. Saragih Partisipasi Warga Gereja Dalam Pekabaran Injil, SPI GKPS (Kongsi Laita, PSK, SK) dalam “AB” No. 53 Terbitan Khusus (Tahun 1978) Jubileum 75 Tahun GKPS).
Dalam membina kehidupan Kristiani juga, nilai-nilai yang terkandung dalam budaya Simalungun cukup potensial. Beberapa terminologi yang berasal dari budaya Simalungun sudah diadopsi Gereja, seperti terminologi Naibata, suatu terminologi yang digunakan hanya untuk satu-satunya Yang Maha Kuasa, yang dianggap Maha Adil; Na Pansing dalam terminologi Tonduy Na Pansing dan Horja Banggal Na Pansing konon terambil dari terminologi demban pansing, yakni sirih dipetik dan dibawa secara cermat agar tidak ternoda kesuciannya; manggalang/galangan yakni suatu terminologi yang hanya digunakan untuk persembahan kepada kekuatan gaib, jauh berbeda maknanya dibandingkan dengan “persembahan” dalam Bahasa Indonesia, karena “persembahan” tidak hanya dialamatkan kepada kekuatan gaib, tetapi juga kepada “orang yang dipertuan”.
Jika GKPS berkenan memperlihatkan kepeduliannya kepada seni budaya (khususnya adat) Simalungun, kiranya tidak terlalu sukar untuk memanfaatkan potensi nilai-nilai budaya memperkaya kehidupan Kristiani anggotanya. Misalnya: Lembaga Tolu Sahundulan Lima Saodoran dapat dijadikan rangkaian mata rantai pengikat kekerabatan; kesetaraan laki-laki dan perempuan, bahkan tingginya martabat perempuan menurut budaya adat Simalungun, dapat dimanfaatkan untuk membendung kecenderungan merendahkan martabat perempuan. (Lihat Mansen Purba SH Tolu Sahundulan Lima Saodoran dalam Ambilan Pakon Barita No. 337/Mei 2002; Hinatunggung ni Naboru bani Budaya Adat Simalungun dalam Ambilan Pakon Barita No. 340/Agusttus 2002).
Contoh lainnya yang sangat mungkin besar manfaatnya memperkaya dan menyempurnakan kehidupan Kristiani adalah:
· Keluhuran nilai budaya yang terkandung dalam tuppak, yakni suatu pemberian berupa uang (atau barang, lazimnya beras) yang dilandasi oleh rasa turut bertanggungjawab meringankan beban sesamanya, dan karena itu tidak sekedar “membayar” hidangan yang dimakan. (Pada Pesta Jubileum 80 Tahun Injil di Simalungun (yang dipusatkan di Medan), Panitia hanya mengingatkan anggota Jemaat tentang adanya kelaziman membawa tuppak jika menghadiri Pesta. Ternyata Panitia cukup kewalahan menerima tuppak karena spontanitas warga GKPS membawa tuppak untuk Pesta Jubileum tersebut).
· Keluhuran nilai budaya manghioui, yakni yang melambangkan pernyataan terjalinnya (atau semakin eratnya jalinan) kekerabatan diantara orang yang manghioui dengan yang di-hioui, maupun yang melambangkan adanya ikatan yang erat (atau semakin erat) diantara pasangan yang di-hioui, sesungguhnya dapat digunakan dalam peneguhan perkawinan, yakni sang Pendeta manghioui sepasang mempelai, melambangkan na pinadomu ni Naibata, lang boi sirangon ni jolma;
· keluhuran nilai budaya yang terkandung dalam perkataan horas, kiranya tidak terlalu berbeda kandungan nilainya dengan perkataan syalom; demikian juga dengan perkataan diatei tupa, yang selain mengucapkan terimakasih, sekaligus juga bermakna “syukur kepada Tuhan” dan “terpujilah Tuhan”.
Nilai budaya yang bersumber dari hagualon dapat memperkaya kehidupan Kristiani. Jika dalam mengawali kebaktian dikenal apa yang dinamakan Praelidium, yakni musik atau nyanyian pendahuluan sebelum memasuki acara pokok, maka dalam hagualon juga ada sejenis praelidium yang disebut parahot, tetapi bukan sekedar musik pendahuluan, tetapi gual yang ditujukan kepada Yang Maha Kuasa, dan karena itu lazimnya tidak untuk itortorhon (bukan musik untuk menari).
Selain untuk mengambil manfaat dari nilai luhur budaya, penggunaan seni budaya dalam berkomunikasi dengan Tuhan juga bermanfaat untuk membangkitkan harga diri (karena jatidirinya sebagai Simalungun ternyata berkenan kepada Tuhan). Hal ini terutama sangat potensial dalam menghadapi pandangan simbalog yang bersifat sugestif merendahkan martabat dan harga diri suku bangsa Simalungun. Terkadang, orang Simalungun sendiri tersugesti sehingga ikut latah merendahkan martabat suku bangsanya sendiri.

Penutup
Dengan mengemukakan beberapa pandangan tadi, berikut beberapa contoh tadi, kiranya warga GKPS terundang untuk lebih memahami betapa pentingnya pelestarian seni budaya Simalungun, dalam arti melestarikan seni budaya yang membedakan Simalungun dengan suku bangsa lainnya. Sepanjang budayanya dapat dipertahankan berbeda dengan budaya suku bangsa lainnya, maka sepanjang itu pulalah eksistensi Simalungun sebagai suku bangsa dapat bertahan. Sebaliknya, pada saat Simalungun kelak tidak mau lagi mempertahankan adanya perbedaan budaya yang nyata dengan budaya suku bangsa lainnya, maka Simalungun sebagai suku bangsa akan lenyap dari bumi ini, dan karena itu sia-sialah anugerah Allah yang memanggil dan menghantar Simalungun dari alam kegelapan kepada terang Firman Allah.
Dalam hubungan ini, kiranya GKPS perlu menyadari perannya yang sangat potensial dalam upaya pelestarian seni budaya Simalungun. Pengalaman sejarah telah membuktikannya. Pada saat Bahasa Simalungun menghadapi ancaman kepunahan, Gereja menyelamatkan Bahasa Simalungun (karena ternyata Allah sendiri berkenan memakai Bahasa Simalungun menjadi bahasa-Nya menyapa Simalungun).
Sebaliknya juga sama halnya. Ketika seni budaya “diperangi” oleh Gereja di masa silam, ternyata Gereja memenangkan “perang” tersebut. Karena itu Gereja juga pasti menang dalam “pertarungan” menyelamatkan seni budaya Simalungun, apalagi jika “pertarungan” tersebut dianggap sebagai langkah pertobatan dari kekeliruannya “memerangi” seni budaya Simalungun di masa silam.
Semoga Jubileum 100 Tahun Injil di Simalungun dijadikan tonggak sejarah bangkitnya kembali hasimalungunon, sehingga kelak Simalungun masih boleh merayakan Jubileum 200 Tahun Injil di Simalungun.

Jakarta, 24 Agustus 2002.


Catatan:
Makalah ini disampaikan oleh St. Mansen Purba SH pada Seminar Sehari Peranan Seni Budaya Simalungun Dalam Kehidupan Kristen, Jakarta, 24 Agustus 2002.

Bulang adalah sehelai kain tenunan berbentuk selendang dengan corak tersendiri (berbeda dengan corak tenunan khas Simalungun lainnya) digunakan oleh perempuan sebagai penutup kepala sekaligus pertanda bahwa dia sudah menikah. Baik gotong maupun bulang berfungsi untuk menyembunyikan rambut.
Doding=nyanyian; yang dimaksud dengan doding Simalungun, yakni nyanyian yang mempunyai irama khas Simalungun, yang sering disebut inggou.

Gotong adalah sehelai kain empat persegi (biasanya bercorak batik) yang digunakan oleh laki-laki dewasa sebagai tutup kepala, dengan cara melilitkannya di kepala.

Gual, Hagualon=seni musik menggunakan seperangkat alat musik khas Simalungun. Pdt. A. Munthe, MTh., dalam makalahnya Peluang dan Tantangan Pelayanan Gereja Ditinjau dari Potensi Sosial Budaya pada Seminar Sehari Peluang dan Tantangan Pelayanan Gereja Dalam Masyarakat Majemuk (Medan, 13 April 2002) mencatat bahwa Ruhut Paminsangon (=Peraturan Siasat) GKPS tahun 1971 masih melarang gonrang (=seperangkat alat musik) yang berkaitan dengan berhala. Kini ketentuan tersebut tidak ada lagi.

Harangan parsinumbahan (=hutan tempat menyembah kekuatan gaib). Dalam suatu percakapan, Prof. Dr. Bungaran Saragih, MEc. menyatakan pendapatnya bahwa masuknya Injil ke Simalungun turut bertanggungjawab atas rusaknya hutan di daerah Simalungun. Karena itu beliau mengusulkan agar momentum Jubileum 100 Tahun Injil di Simalungun dimanfaatkan untuk membayar hutang kepada Simalungun dengan cara menghijaukannya kembali, khususnya lahan-lahan yang seharusnya tetap difungsikan sebagai hutan. (Lihat juga Mansen Purba SH Hutan Doa, Heja Marsibahen Haranganni, Majalah Bulanan “Ambilan pakon Barita” No. 338 Juni 2002, hal. 37).

Heja - Dalam khotbah dan sambutannya ketika meresmikan terbentuknya Panitia Bolon Jubileum 100 Tahun Injil Di Simalungun (di GKPS Pematang Raya, 9 Desember 2001), Ephorus GKPS, Pdt. DR. Edison Munthe, MTh., menggunakan kata heja untuk menyampaikan harapannya agar hendaknya semua warga GKPS bergegas menyibukkan diri menyongsong Jubileum 100 Tahun Injil Di Simalungun. Perkataan heja memang digunakan Simalungun untuk menggambarkan kesibukan yang luar biasa, lahiriah dan batiniah, mempersiapkan peristiwa penting dalam kehidupannya (seperti: mempersiapkan perkawinan puteranya, horja paunjuk anak), sehingga terkesan seolah lupa meluangkan waktu untuk beristirahat, demi suksusnya horja tersebut. Kemungkinan kesan “lupa diri” ini yang membuat heja diartikan “tidak menghargai diri sendiri” dalam Kamus Simalungun Indonesia, (oleh St. J. E. Saragih, diterbitkan Kolportase GKPS, Pematang Siantar, 1989). Kata yang hampir sama artinya (tetapi dalam konotasi yang berbeda), adalah hettus (=sibuk).

Hiou, Manghioui (asal kata hiou=kain/pakaian adat) dilakukan dengan cara melilitkan sehelai hiou melalui pundak seseorang atau sepasang suami isteri, serta mempertemukan kedua ujung hiou tersebut di pangkuan orang(-orang) yang di-hioui. Akhir-akhir ini sering juga disebut mangulosi (Bahasa Toba).

Horja paunjuk anak atau horja marpanayok (=perhelatan adat yang bersifat mengesahkan terjadinya perkawinan). Menurut adat Simalungun, sahnya perkawinan ditandai dengan serangkaian upacara di rumah keluarga pihak mempelai laki-laki, yakni: mempelai perempuan disambut dengan menyalinkan bulang (mambulangi, yang sekaligus merupakan pertanda peralihan status tidak kawin menjadi status kawin); mempersilahkan kedua mempelai duduk bersanding di luluan (pahundulhon hu luluan; luluan=sebelah hulu); pajujungkon boras tenger (meletakkan beras ke kepala kedua mempelai). Jika upacara adat tersebut belum dilangsungkan, status kedua mempelai dianggap belum sah menjadi suami isteri.

Marlua-lua (=“kawin lari”). Hanya di Simalungun terdapat aturan adat marlua-lua (“kawin lari”). Pada suku bangsa lainnya “kawin lari” melanggar aturan adat, karena memang tidak diatur dalam adat.

Pangulu Balei, nama jabatan yang fungsinya sama dengan Sekretaris Daeah, diangkat sebagai Pegawai Negeri oleh Pemerintah Hindia Belanda.

Tabas=mantera. Disebut hata tabas (=bahasa mantera), karena tabas biasanya menggunakan kata-kata yang dipinjam dari berbagai bahasa (Toba, Mandailing, Melayu, Arab) dengan maksud mengundang “kekuatan” dari berbagai penjuru untuk memperkuat kesaktian tabas.

Tanoh dapat diartikan Negeri; tanoh Simalungun yakni negeri atau daerah yang dihuni suku bangsa Simalungun. Terbaginya daerah Simalungun dalam beberapa kerajaan dimulai sejak adanya invasi Aceh ke hampir seluruh Sumatera pada abad ke-16. Sebelum terbagi dalam beberapa kerajaan, daerah Simalungun berada dalam wilayah satu kerajaan, yakni Kerajaan Nagur. Adanya 7 Kerajaan di Simalungun mendapat pengakuan sejak ditandatanganinya Perjanjian Pendek (Korte Verklaring) antara Belanda dengan Raja-Raja di Simalungun tahun 1907. Lihat juga Mansen Purba SH, Rondahaim, Sebuah Kisah Kepahlawanan Menentang Penjajahan di Simalungun; Penerbit Bina Budaya Simalungun, Medan, 1993.

Timorlanden (=tanah/negeri sebelah Timur). Bunyi telegram menandai dimulainya penginjilan di Simalungun, yakni: Tole den Timorlanden das Evangelium (Lihat Pimpinan Pusat GKPS, Ephorus Pdt. A. Munthe dan Sekretaris Jenderal Pdt. H. M. Girsang Jubileum 75 Tahun GKPS, Tole, Nunquam Retrorsum dalam “AB” No. 53 Terbitan Khusus (Tahun 1978) Jubileum 75 Tahun GKPS). Sebelum tahun 1903, nama “Simalungun” belum sering digunakan. Penulis (asing) biasanya menggunakan sebutan “Batak Timur” untuk membedakannya dengan “Batak” lainnya.

19 October 2005

TOLU SAHUNDULAN LIMA SAODORAN

Anggo dong horja-horja (adat) ni halak Simalungun, tomu lang maningon ijin ma: Suhut (pakon saninani); tondong ni Suhut; Anakborujabu (pakon boru) ni Suhut. In ma na igoran Tolu Sahundulan. Ase gok (sempurna) horja-horja in, ijin ma homa tondong ni tondong nokkan, sonai boru ni boru nokkan, na igoran Anakborumintori. Lang be pitah Tolu Sahundulan tumang. Tapi ranggi ma ijin naginoran “Tolu Sahundulan Lima Saodoran”, ai ma Suhut (pakon saninani), Tondong, Tondong-ni-tondong, Anakborujabu (pakon Boru), Anakborumintori.
Donok bei do partuturan ni na lima goranan in.
Sibiak sanina ni hasuhuton ai ma sanina ni bapa hasuhuton (na sabapa, na saoppung atap sisada hasusuran), pakon na sanina inang appa na sanina inangtua/tutua pakon bapa hasuhuton appa sanina ni inang hasuhuton (in ma naginoran sanina sapanganonkon, gakni halani sisada panganan sidea i rumah ni tondong).
Sibiak Tondong, ai ma namatoras appa botou ni inang hasuhuton (ai ma na igoran Tondong Jabu); namatoras appa botou ni inang ni bapa hasuhuton (ai ma na igoran Tondong Pamupus); botou ni inangtua/tutua ni bapa hasuhuton (ai ma na igoran Tondong Bona).
Tondong-ni-tondong, ai ma tulang ni inang hasuhuton, pakon ganup tondong ni Tondong nokkan.
Anakborujabu, ai ma anak ni amboru (botou ni bapa) ni bapa hasuhuton. Tapi dong do homa na mambahen hot Anakborujabuni, ai ma hasusuran ni Anakborujabu ni Oppungni, halani ilahoi pe tong horja Anakborujabu.
Odoran ni Anakborujabu in ma ganupan Boru, ai ma ganup niombah (dalahi) ni amboru ni bapa hasuhuton, pakon botou ni bapa hasuhuton na dob marhajabuan.
Anakborumintori, ai ma ganup botou ni Anakborujabu/Boru nokkan na dob marhajabuan. Tapi Anakborumintori tang sisangkanan ai ma panogolan naboru ni bapa hasuhuton.
Hu bani na lima goranan in ma homa marsiboan tuturni ganup diha-diha na legannari. Romban hu bani tuturni in ma ibuat bei hundulanni (pakon horjani). Sipartondong hu bani Tondong ni hasuhuton, isiatkon ma dirini bani odoran ni sanina ni hasuhuton. Sipartondong hu bani Anakborujabu/Boru ni hasuhuton, isiatkon ma dirini bani odoran ni Anakborumintori.
Ganup do nahinan marsitohu hundulanni marihutkon si Tolu Sahundulan Lima Saodoran. Ai na lima goranan in do ibahen parihutonkonni ase dong tutur ni doppak hasuhuton.
Ai ma ase si Tolu Sahundulan Lima Saodoran in do rahut-rahut ni loulouan paradaton ni Simalungun, na palegankon Simalungun humbani simbalogni. Rahut-rahut ni loulouan paradaton ni halak Toba ai ma Dalihan Na Tolu (paopat Sihal-sihal); bani Karo ai ma merga silima tutur siwalu.
Partongahjabuon do mambahen dong si Tolu Sahundulan Lima Saodoran in. Ai ma ase boi do hatahonon, partongahjabuon (perkawinan) do tang urat ni si Tolu Sahundulan Lima Saodoran.
Sonin ipungkah partongahjabuon, mintor ranggi ma homa si Tolu Sahundulan Lima Saodoran ni partongahjabuon in: dong sibiak saninani (ai ma na manjalo hiou Parbapatuaon pakon hiou Parnasikahaon humbani suhut Parboru); dong Tondongni (ai ma marhitei na ijalo hiou tanda hela); dong Tondong-ni-tondongni (ai ma na manjalo apuran Tulang-tulang); dong anakborujabuni (ai ma na manjalo hiou Anakborujabu humbani suhut parboru); dong anakborumintorini. Sonai ma pasambat loulouan si Tolu Sahundulan Lima Saodoran in, gabe dong parihutkonon ni loulouan paradaton na sada hu bani na legannari.
Hunjin naidah, ganup na mamakei rahut-rahut ni paradaton si Tolu Sahundulan Lima Saodoran in, gabe mardiha-diha na sada hu bani na sada nari. Lang dong na i darat ni rahut-rahut in. Marsihaitan pasambat gabe bolag marhasadaon.
Halani ai ma homa ase boi do hatahonon mardiha-diha do ganup halak Simalungun marhitei budaya si Tolu Sahundulan Lima Saodoran in.
Marhitei budaya si Tolu Sahundulan Lima Saodoran in ma homa irahut Simalungun na so Simalungun hinan gabe halak Simalungun. Ai marhitei na iboruhon halak Simalungun sasahalak, gabe dong ma hundulanni bani loulouan paradaton si Tolu Sahundulan Lima Saodoran nokkan. Ia lang halani na iboruhon, boi do homa halani na isiatkon dirini hu bani halak Simalungun, ai ma marhitei nailahoi horja ni sibiak sanina atap sibiak boru, gabe dong ma hundulanni bani loulouan paradaton. Lanjar in ma homa parihutkononni mardiha-diha pakon na legannari. Dob ibotoh parhundulni bani loulouan paradaton, dobni ipakei ma homa budaya si Tolu Sahundulan Lima Saodoran in i tongahjabuni. Sonai ma parbokkotni gabe halak Simalungun, hassi pe partoloh hinan do.
Suhar-suhar ni ai pe boi do masa hu bani halak Simalungun atap pe na dob gabe Simalungun hinan. Lang hossi be ipakei budaya si Tolu Sahundulan Lima Saodoran in, tapi rosuhan ma ia mamakei rahut-rahut dalihan na tolu, dobni gabe Toba ma ia. Anggo rosuhan ma ia mamakei rahut-rahut merga silima tutur siwalu, dobni gabe Karo ma ia. Anggo rahanan ma ia mamakei rahut-rahut paradaton ni Melayu, dobni gabe halak Melayu ma ia.
Sonai homa hasomalan na lambin masa sondahan on, ai ma marhitei na manombei panggoranian hasoman sahuta (maniru dongan huta ni Toba). Anggo rosuhan ma ia mamilih parhundul gabe hasoman sahuta bani loulouan paradaton Simalungun, dobni gabe Indonesia (se-Tanah Air) mando ia, lang etongon be ia diha-diha marihutkon partuturon ni Simalungun, anjaha lang be homa nabotoh ija hundulanni bani loulouan paradaton si Tolu Sahundulan Lima Saodoran nokkan. Age pe namin sibiak Tondong hinan do, gabe i talaga ma ia hundul, gariada dihut ma hobas margatgat. Age pe namin sibiak Boru hinan do, gabe ibuat ma hundulanni i luluan.
Gariada gabe daohan ma tutur ni hasoman sahuta in marimbang tutur ni huan-huan. Ai anggo huan-huan, hiraon do in songon sanina ni hasuhuton.
Sobali parhiteian ni pardiha-dihaon, si Tolu Sahundulan Lima Saodoran in do homa ipakei nahinan gabe rahut-rahut ni harajaon na pitu i Simalungun. Ai martondong-maranakboru do harajaon na sada hu bani harajaon na legannari. Ai ma ase porini pe masa porang naijia, boi do hatahonon na marbikkas do ai halani tubuh parsalisihan ibagas sada harajaon; sambolah humbani na marsalisih in do “mangalop gogoh” humbani harajaon na legan, gabe idahon songon porang ni samah harajaon.
Halani ai, ra do gakni boi hatahonon, na roh rassah ni do Simalungun sondahan on mamakei si Tolu Sahundulan Lima Saodoran in mambahen mahol jumpah hasadaon. Ai gabe hasoman se-Tanah Air mando. Taridah do ai marhitei na rahanan ma Simalungun sondahan on mar-Om atap mar-Paman hu bani sanina ni bapani sonai age hu bani botou ni inangni, mar-Tante hu bani tutur inangni sonai hu bani amboruni. Dobni lang nabotoh be sonaha parhundul i loulouan paradaton, lambin gaor ma age parsahapan.
Sonai homa marhitei na mamakei panggoranion boru pakon panogolan (mangusihi Toba: boru dohot bere). Dobni gabe gaor ma, halani na ietong boruni ai ma paramangon ni botouni atap amboruni; na ietong panogolan ai ma niombah dalahi tubuh ni amboruni atap tubuh ni botouni. Hape namin boruni ai ma ganup do panogolanni dalahi (tubuh ni amboruni atap botouni), gariada, in do tang boru; anggo paramangon ni botouni, boru appuan do goranni. Hape namin ganup panogolanni boru (tubuh ni amboruni atap botouni), in ma Anakborumintorini; ai hansi pe panogolanni in martulang bani, tapi lang martondong be, martondong-ni-tondong mando.
Halani ai, ra dear do lambin ihargahon hita budaya si Tolu Sahundulan Lima Saodoran in gabe rahut-rahut ni hasimalungunonta. Hu bani samah Indonesia ma pakei hita tutur Saudara se-bangsa dan se-Tanah Air. Hu bani samah sisada haporsayaon pakei hita tutur Saudara se-iman. Tapi anggo samah Simalungun do, sakkanan do pangahap anggo ipakei tutur marihutkon si Tolu Sahundulan Lima Saodoran.
Pori sonaha pe bagei ni na boi padaohkon hita samah Simalungun, atap na ugama ma ai, atap politik kepartaian, atap sinadongan (kedudukan ekonomi), pnl., na sada do hita janah na sakkan bei do pardiha-dihaonta samah Simalungun ibagas rahut-rahut ni si Tolu Sahundulan Lima Saodoran. Pori na mar-partai politik ondi ma na bahen gabe usihan, ulang ma namin halani na palegan-legan partai, gabe maseda hinaranggi ni si Tolu Sahundulan Lima Saodoran, gabe maseda pardiha-dihaon, maseda hasadaonta samah Simalungun.


(Ongga ma isuratkon ibagas Ambilan Pakon Barita No. 337/Mei 2002)

02 October 2005

BUDAYA DO NA PALEGANHON SUKU BANGSA

Age pe domma gabe sada bangsa hita Indonesia, tong do isurahon ase ulang namin lambin masab suku-suku bangsa ni Indonesia on. Age palegan-legan tapi hot marhasadaon. Sura-sura in ma na igoran Bhineka Tunggal Ika.
Budaya na palegan-legan do mambahen dong suku-suku bangsa in. Anggo itadikkon sada suku bangsa ma budaya na paleganhonsi humbani suku bangsa na legannari, sasap nari mando suku bangsa in.
Aspek budaya na takkas taridah paleganhon suku na sada humbani na legannari, ai ma sahap, adat pakon kesenian. Tarlobih bani suku-bangsa Simalungun, aspek budaya na tolu in mando mambahen targoran ia suku bangsa. Anggo lambin lang be ihargahon sahap Simalungun, lambin roh simouni ma suku bangsa in. Anggo lambin lang be taridah hinalegan ni adat perkawinan ni Simalungun, hira dos mando songon adat ni simbalog (Toba), lambin roh langni ma suku bangsa Simalungun. Anggo lambin tading ma inggou Simalungun, rosuhan bani inggou suku na legan (atap India?), roh sasapni ma suku bangsa Simalungun.
Sedo hasusuran parmorgaon tang napataridahkon suku bangsa Simalungun. Ai anggo hasusuran do, lang tartakkasi be atap susur hunja hinan do halak Simalungun. Lang homa ongga tarbogei legenda na makkatahon sisada hasusuran hinan halak Simalungun. Gariada, dong do halak Simalungun na martongon susur hun suku bangsa na legan. Dong do na susur hun Pagarruyung, gabe Purba Tambak dob i Simalungun. Dong na susur hun Pakpak (Dairi), gabe Purba Pakpak dob marhuta i Purba; gabe Girsang dob marhuta i Nagasaribu. Dong do par Samosir hinan gabe Saragih barang Sinaga atap morga na legannari dob i Simalungun. Ai ma ase age dos morgani, lang mittor boi hatahonon sisada hasusuran.
Budaya do namin age parmorgaon. Tapi budaya adat perkawinan do rahut-rahut ni parmorgaon i Simalungun. Ai age pe palegan morga, boi do gabe sanina (sapanganonkon) bani parhundul i loulouan paradaton, halani sanina inang, sanina inangtua atap sapambuatan (boru).
Ai ma ase budaya ma tang na boi bahenon gabe batar-batar pasayurhon suku bangsa Simalungun. Sedo hasusuran. Age pe lang halak Simalungun hinan, gabe halak Simalungun do goranon anggo marbudaya Simalungun do. Sonai homa age suharni ai. Age halak Simalungun hasusuranni, mahol ma goranon ia halak Simalungun anggo budayani domma lang be budaya Simalungun. Humbani sapari do sonai. Ai ma ase sapari dong do na hun Toba hinan, atap na susur hun Jawa, hun Sina, gabe halak Simalungun halani ijalo janah ihagoluhkon budaya Simalungun; dong do na igoran “domma gabe malayu” halani na marbudaya Melayu. Sonari on pe boi do homa hataonkon “domma gabe Toba”, anggo domma marbudaya Toba, age pe namin halak Simalungun hinan do; “domma gabe Karo” halani marbudaya Karo. Atap, “domma gabe halak nasional” halani marbudaya nasional.


Catatan: Basa homa nasinuratkon ni St. Mansen Purba SH bani Ambilan & Barita GKPS No. 337 Mei 2002

BUDAYA SIMALUNGUN

Humbani mukkahni roh par Eropah hu Sumatera (Timur), mittor ibotoh sidea do dong hinalegan ni suku bangsa na marianan appit Timur ni Danau (Tao) Toba, pabalog pakon Samosir appa Toba, pabalog pakon Karo appit Utara anjaha Melayu appit laut (Selat Malaka).
Igoran sidea ma suku bangsa in Batak Timur, paleganhonsi humbani suku bangsa Batak na legannari.
Tapi dobni igoran ma use suku bangsa in Simalungun. Ai ma dobhonsi ipatimbul goran Simelungun en Karolanden, sanggah na ipadomu Bulanda na dua daerah in gabe sada distrik ni pamarentahan Bulanda. Na igoran Simalungun landen ai ma harajaon-harajaon: Siantar, Tanoh Jawa, Panei, Dolog Silou, Raya, Purba pakon Silimakuta.
Hunjianari ma (tahun 1904) lambin somal ipakei goran Simalungun makkatahon suku-bangsa. Budayani igoran budaya Simalungun.
Lang ganup huta ni halak Simalungun masuk hu wilayah pamarentahan Simalungun. Deba domma soppat masuk hinan hu wilayah pamarentahan ni simbalog. Sipitu Huta (songon Tongging) masuk hu Karo. Sipispis, Bangun Purba, pnl., masuk hu Deli Serdang. Dong do homa na soppat masuk hu Asahan.
Sapari, sanggah dong ope Kesultanan Deli, tong do ipaturut sidea sistem pamarentahan huta na somal i Simalungun ipakei bani huta ni halak Simalungun na soppat masuk hu wilayah pamarentahan Kesultanan Deli. Tarsonai do homa age bani huta ni halak Simalungun na soppat masuk hu wilayah pemerintahan ni simbalog. Lang mittor mubah suku bangsa ni sidea sadokah tong ope sidea marbudaya Simalungun.
Anggo natakkasi sejarahni, paima dong harajaon-harajaon na pitu i Simalungun, sada hinan do hassa harajaon sapari, ai ma na margoran harajaon Nagur.
Domma girah hinan dong harajaon Nagur in. Ai bani partikkian ni halak Sina (abad 6), domma dong tarsurat goran Nagur. Sanggah ibottas Marco Polo Sumatera (abad 13), isuratkon do goran Nagore atap Nakur bani partikkianni. Ibaritahon Pinto (abad 16) do, na roh par Nagur hu Malaka mangindo pangurupion ni Portugis mangimbang Aceh na roh mamorang Nagur. Bani Encyclopedie Ned. Indie isobut do homa na monang Nagur humbani invasi ni Johor pakon Siak.
Bani sejarah ni Harajaon Silou ibaritahon do, na iboruhon Nagur do Raja Silou na parlobei. Bani sejarah ni Harajaon Raya, ibaritahon do na iboruhon Nagur do Sipinangsori. Ginopparni ma na gabe Raja i Harajaon Raya.
Dihut do Nagur in iporang Aceh bani abad 16, sanggah na iporang Aceh ganup Sumatera, irik pararatkon Islam. Tapi martahan do Nagur. Lang soppat rarat Islam hu wilayahni. Gabe martahan ma age budayani. Ipudi ni ari use (abad 17), sanggah panorang ni Sultan Iskandar Muda, iulakkon Aceh do use patundukkon ganup gomgomanni hinan. Tapi lang be pala irik pararathon Islam. Panorang ia ma jongjong Harajaon Silou, sonai harajaon na legannari i Simalungun. Opat humbani harajaon in martuan hu Aceh (tiba Deli, wakil Kesultanan Aceh), ai ma na igoran Raja Maroppat, atap Raja Marompat Hataran. (Panggoranion na ipakei bani Partingkian Bandar Hanopan. Sobali Raja Marompat Hataran, isobut do homa bani Partingkian in, dong Raja Marompat Karou. Domma dokah ipakei Aceh sistem nan empat in. Ai ma ase dong do na igoran Tuha Peuet i Aceh Barat, dong Pojo si Opat i Gayau, dong Raja si Empat i Alas, dong Datuk Berempat i Deli. Nini Prof. Dr. W.B. Sijabat bani bukuni Ahu Si Singamangaraja, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta, 1982, hal. 74:”dari data-data yang terkumpul dapat kita ketahui, bahwa sistem raja berempat ini ialah hasil pengaruh sistem pemerintahan di Aceh yang diterapkan di Sumatera Utara”).
Talup-talup, tahi ni Nagur do paturutkon Raja Maroppat in martuan hu Aceh, laho mandingdingi budayani ase ulang soppat iasak budaya na binoan ni Aceh.
Ipudini ari use, lambin surut ma kuasa ni Nagur. Parboisni, ai ma sanggah na roh Raja Martuah hun Raya mamorang Nagur, mambahen manringis raja-raja na legannari doppak Raya. Dong pe namin sima-sima ni Nagur i Nagoraja (Nagur Raja), na marpuang hu Baja Linggei. Sidea in pe iboan bala ni Tuan Rondahaim do use hu Raya, sanggah na iporang Baja Linggei Nagoraja.
Age pe domma mangissurut Nagur, sayur do budaya tinadikkonni. Ai ganup do raja-raja ipudi ni Nagur manramotkon budaya in. Tarlobih ma ai halani hot do harajaon-harajaon in manramotkon adat harajaon na marondolan bani adat perkawinan. Ai maningon panakboru hun Panei (atap Baja Linggei) do ase boi bolonhonon gabe Puang Bolon i Raya; maningon panakboru hun Siantar do ase boi bolonhonon gabe Puang Bolon i Purba; maningon Panakboru hun Raya do ase boi bolonhonon gabe Puang Bolon i Dolog Silou. Tubuh ni Puang Bolon in do na boi ipabakkit gabe raja.
Ai ma ase boi do hatahonon, budaya tinadikkon ni Nagur in do na igoran hita sonari budaya Simalungun. Na dob taruji do budaya in, boi martahan humbani invasi ni Aceh. Na dob taruji boi ijalo partoloh na roh hun Pagaruyung (ai ma Purba Tambak na gabe Raja Silou), atap na roh hun huta Garingging, Karo (ai ma Saragih Garingging na gabe Raja Raya), barang na roh hun Pakpak Dairi (ai ma Purba Pakpak na gabe Raja Purba, atap Girsang na gabe Raja Silimakuta), barang na roh hun bariba (Damanik na gabe Raja Siantar), barang na roh hun Samosir (songon Sinaga na gabe Raja Tanoh Jawa, appa morga na legannari na gabe Saragih, Sipayung, pnl.), barang na roh hun Sina (na gabe Sinaga).
Lang sai nabotoh be atap sibar ja hinan do tanoh ni halak Nagur (na gabe halak Simalungun) in. Tapi takkas do nabotoh, dob ojak pemerintahan ni Bulanda i Sumatera Timur (ujung ni abad 19, i Simalungun 1904-1942), dong do huta ni halak Simalungun i wilayah-wilayah pemerintahan Karo, Asahan (pakon Batubara), Serdang (pakon Padang i daerah Tebing Tinggi sonari), sonai age Deli.
Suhar ni ai pe masa do homa. I wilayah pemerintahan Simalungun pe, marmulgapan do huta ni halak legan, tarlobih ma dob dong perkebunan besar anjaha ibuka homa parsabahan haporluan ni perkebunan besar in.
Ipudi ni ari use, ai ma dob jongjong Republik Indonesia (1945), lang be pitah i wilayah-wilayah nokkan marhuta halak Simalungun, tapi bani sab Indonesia. Nagoran pe sidea in halak Simalungun halani marbudaya Simalungun pe tong hassi pe domma marhuta i tongah-tongah ni masyarakat bangsa Indonesia. Deba dassa na dob salih gabe suku bangsa legan, mansiatkon dirini.
Ai ma ase boi do hatahonon, sadokah sayur pe budaya in, sayur homa ma suku bangsa in, pori pe merap halakni hu sab Indonesia barang sab dunia on. Suharni ai pe boi do masa: sasap ma suku bangsa in anggo lang be taridah hinalegan ni budayani.

Kepustakaan:
1. Purba Tambak, T.B.A., Sejarah Keturunan Silou (1967); Sejarah Simalungun (1982).
2. P. Voorhoeve, Partingkian Bandar Hanopan, Transliteration of the Simalungun Batak Manuscript With a Summary of Contents by P. Voorhoeve (1993)
3. Saragih, Taralamsyah, Saragih Garingging, Medan, 1981
4. Prof. Dr. W.B. Sijabat, Ahu Si Singamangaraja, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta, 1982.
5. Saragih, J. Wismar, Barita ni Tuan Rondahaim, naginoran ni halak Tuan Raya Na Mabajan, bani buku Rondahaim, Sebuah Kisah Kepahlawanan di Simalungun, Bina Budaya Simalungun, Medan, 1993

01 October 2005

ADAT

Sada humbani aspek budaya in ai ma adat. Nahinatahon adat, ai ma ganup aturan na ijalohon simbuei gabe na patut dalanhonon ase juppah hatotorsa ni pargoluhon.
Deba aturan in domma gabe aturan hukum. Ai ma aturan na marpakkorhon pori lang idalankon. Usihan-ni: mangihutkon adat sapari, anggo lape ibulangi, ipahundul iluluan anjaha ijujungi boras tenger, lape saud siparunjuk naboru gabe parinangon ni siparun-juk dalahi. Hiraon ope ia anakboru, hassi pe domma ialop dear barang iluahon hun rumah ni parboru. Pori dong na manrobutsi paima ibulangi, na manluahon anakboru do goranni, sedo na manrobut parinangon ni halak.
Debanari aturan in pitah adat na ihasomalhon dassa. Atap hasomalan na dob gabe adat. Lang pala dong pakkorhonni pori pe lang idalankon. Usihanni: adatni do padalanon ni inang na bayu demban na bayu parubahan tuturni; tapi, porini pe lang ipadalan demban na bayu, lang pala halani ai gabe lang saud mubah tuturni.
Hummahol do botohon naijahani adat na gabe aturan hukum, naijahani na pitah adat na ihasomalhon hassa. Halani ai ma ase porlu do pakkei janah pae padalankon adat. Pori na padalankon panganan baggal ondi, ninuhur namin ulang pala halani na lang dapotan panganan baggal gabe maseda hinasakkan ni pardiha-dihaon; tapi hape na deba marpakkorhon do ai, taridah humbani na laho ia nanget manginsurut humbani horja in. Paksa ma use narohi ia mansopotkon hinalassei diri ai, mangelekkon ase totap namin hinasakkan ni pardiha-dihaon.
Ganup do aspek ni pargoluhon dong bei aturanni bani adat Simalungun. Sapari, dong do “adat manraja”, aima aturan laho pabakkithon raja; dong do “adat harajaon”, ai ma aturan na mardomu hu bani harajaon, ibagas ai ma age pasal pemerintahan. Dong adat na mangatur pasal talun, in ma na padonok pakon hukum pertanahan. Dong do age pasal tading-tadingan, na igoran bani sahap Indonesia hukum waris. Pasal naija-hani pe dong bei hinan do adatni.
Tapi deba mando in na tading. Ai dob marhasa-daon hita gabe Negara Indonesia, buei ma aturan in na dob igassih gabe aturan hukum Indonesia, marhitei undang-undang barang marhitei jurisprudensi. Aturan pasal pemerintahan domma sasap rap pakon parsasap ni harajaon ondi. Aturan pasal talun pe, maningon ma tadikkonon halani domma dong Undang-Undang Pokok Agraria. Adat na mangatur pasal tading-tadingan pe na laho tading ma homa. Ai anggo mardo-mu do riah ni ganup na tinading, boi do ipadalan romban hu bani adat Simalungun. Tapi anggo marpar-kara do, hukum waris nasional do ipakei Pengadilan Negeri: dos bei bagian ni ganup niombah, anak age boru.
Dihut ma age adat perkawinan, debanari mando tading, ai ma na so hinamkam ni Undang-Undang Per-kawinan. Usihanni: age pe ningon nokkan mittor saud ma siparunjuk naboru gabe parinangon anggo domma ijujungi boras tenger, nape tongon sonai anggo lape idalanhon songon naniaturhon ni Undang-Undang Per-kawinan.
Ra, mittor tubuh do sukkun-sukkun, mase ma pala padalanon adat perkawinan Simalungun.
Balos doppak sukkun-sukkun in boi do pondok. Ai ma: ase marpakkorhon adat perkawinan in hu bani adat pardiha-dihaon ni Simalungun. Ai lape dong adat pardiha-dihaon (atap hukum kekeluargaan) nasional. In homa, adat perkawinan in ma deba aspek budaya napaleganhon Simalungun, ase hot gabe sada suku bangsa i Indonesia on.
Pasal adat perkawinan in ma aspek budaya Sima-lungun na sihol takkasan bani buku on. Sahap Indone-sia do namin adat perkawinan in. Tapi nabahen ma in hira sahap Simalungun, gendo boi buei hinamkamni. Ai anggo adat parunjukon na pakei, pitah horja adat paunjuk anak barang adat marpanayok do hassa hinamkamni. Lang be tarsahapi horja-horja paima das hu bani parunjukon in, songon horja palaho boru, naniasokan, barang marlua-lua. Lang be homa tarsa-hapi be adat partongahjabuon.

PARDIHA-DIHAON PAKON PARTUTURAN

Pardiha-dihaon ai ma parbaturni (keteraturan) pardomuan ni gori (anggota) ni loulouan paradaton. Ibagas pardiha-dihaon in ma dong tutur, ai ma panggoranion ni na sada hu bani na sadanari, na saholmouan hu bani na saholmouannari, sonai ma pasambat pardomuan ai gabe loulouan paradaton.
Humbani pardiha-dihaon appa partuturan in ma botohon hajongjongon diri ibagas loulouan paradaton: sibiak sanina do, tondong do, atap boru do; sibiak anak do, abang atap anggi do, bapa do, atap oppung do; sonai ma rossi tutur na legannari.
Boi do hatahonon, partongah-jabuan (perkawinan) do parhiteian ni pardiha-dihaon appa partuturan in. Ai marhitei na martongah-jabu sada anak pakon sada boru, gabe “martondong-maranakboru” ma hasuhuton paranak pakon hasuhuton parboru. In ma hotop igorankon “loulouan na martondong-maranakboru”. Marhitei parunjukon (perkawinan), boi do mubah use partuturan, sonai age pardiha-dihaon. Boi do homa palegan-legan pardomuan ni pardiha-dihan in, halani lang pitah marihutkon sada perkawinan hassa parhiteian ni pardiha-dihaon. Pori sibiak sanina hinan, boi do gabe sibiak tondong-ni-tondong marihutkon perkawinan ni botou-banuani.
Bani horja-horja adat, mittor marsitohu hulananni ma diha-diha in. gabe urah idahon batur ni pardiha-dihaon. Ai ma: sanina, tondong, boru, tondong-ni-tondong, boru-mintori. In ma na igoran tolu-sahundulan-lima-saodoran. (In ma deba na paleganhon adat Simalungun pakon adat ni simbalog. Ai i Toba (pakon par Tapanuli), dalihan na tolu barang dalihan na tolu paopat sihal-sihal do onjolan loulouan paradaton. Bani halak Karo ai ma marga-si-lima-tutur-si-walu).
Hu bani na lima holmouan in ma ganup diha-diha pasiatkon dirini. Age huan-huan pe, sonai homa na igoran hasoman sahuta, ibuat bei ma hundulanni mangihutkon si tolu-sahundulan-lima-saodoran in. Ai ma ase bani adat Simalungun lang dong hundulan ni “hasoman sinhuta” (dongan huta, Toba). Ai marsitohu holmouanni do ganup hasoman sahuta in, ia lang sibiak sanina, sibiak boru ma, anggo lang ai sibiak tondong ma, ase ulang songon na mandaoh-daoh humbani pardiha-dihaon.
Anggo natonggor humbani hasuhuton bolon ni horja adat, sonon ma parbagini diha-diha in mangihutkon holmouan si-tolu-sahundulan-lima-saodoran:
sanina:
sanina sabapa, ai ma abang pakon anggini (dalahi), dihut ma age na legan-inang;
sanina sainang (anggo pori kawin use inang dob lang dong be bapa); sanina do na sainang in, hassi palegan morga);
sanina marihutkon bapa, atap na igoran sanina-bapa, ai ma ganup dalahi na saoppung;
sanina marihutkon oppung, ai ma ganup dalahi ginoppar ni sanina ni oppung;
sanina samorgahon ni hasuhuton, ai ma ganup ginoppar dalahi na marsiakuan sisada hasusuran hinan do sidea na samorga in (songon samah Purba Sigumonrong na susur hun Cingkes, atap songon samah Saragih Garingging na susur hun huta Garingging lopus hu Raya, atap songon samah Saragih Simarmata na susur hun Samosir);
sanina sapanganonkon, ai ma sanina marihutkon parsaninaon ni inang hasuhuton (na hotop igoran pariban (hata Toba, sedo hata Simalungun), na sanina-inang pakon hasuhuton, na sanina-inangtua (tutua) pakon hasuhuton; dihut ma age sanina sapanganonkon ni sanina ni hasuhuton; masuk hujon ma homa age tondong jabu ni boru, ai ma botou ni parinangon ni sibiak boru ni hasuhuton, tarlobih ma domma na jalo sapari apuran tulang ni hela sanggah parunjukon ni sibiak boru in;
huan-huan, ai ma hasoman ni hasuhuton na orod tumang parhuan-huanonni, gabe ietong ma songon saninani;
tondong:
tondong pamupus, ai ma botou ni inang namatoras ni bapa hasuhuton, appa ganup sanina ni tondong pamupus in, rossi ginopparni dalahi;
tondong bona, ai ma tondong pamupus ni bapa ni bapa hasuhuton (atap tondong marihutkon inangtua/tutua ni bapa hasuhuton); tondong pamupus ni oppung somalni igoran do tondong mata ni ari.
tondong jabu, ai ma namatoras ni inang hasuhuton, pakon botou ni inang hasuhuton; dihut ma ganup sanina ni sidea in;
tondong marihutkon, ai ma tondong ni sanina ni hasuhuton; tondong marihutkon do homa tondong-jabu ni anak ni hasuhuton; dihut ma ijin age tondong samorgahon ni tondong in;
boru:
ai ma diha-diha marihutkon botou ni hasuhuton na marsanina: marihutkon botou ni bapa atap oppung ni bapa hasuhuton, marihutkon botou barang amboru ni sanina samorgahon ni hasuhuton, dihut age ginoppar dalahi ni sidea in;
tondong-ni-tondong:
ai ma tondong ni ganup tondong nigoranan nokkan; dihut ma age tondong ni tondong-ni-tondong in;
boru mintori:
ai ma ganup boru ni boru ni nanigoranan nokkan; dihut ma age boru ni boru mintori in; tang boru mintori ai ma na mambuat boru ni amboru ni bapa hasuhuton, rossi ganup ginopparni.

Bani horja-horja adat, tarlobih adat perkawinan, taridah ma homa bagei ni jabatan paradaton. Ai ma: Suhut Bolon, Bapatua, Suhut Pahidua (atap Pahidua-ni-suhut), Anakboru-sanina, Parnasikahaon, Tulang, Anakborujabu, Anak-boru Mintori, Parorot.

Suhut Bolon ai ma na makkasuhuthon horja adat in; bani horja adat palaho boru, namatoras ni boru sipalahoon in ma Suhut Bolon; Paralop do goran ni orangtua ni anak na laho mangalop boru in, rap pakon odoranni; bani horja paunjuk anak, namatoras ni anak na marunjuk in ma Suhut Bolon.
Bapatua ai ma sahalak humbani sanina ni Suhut Bolon, ai ma sanina marihutkon parsaninaon ni oppung, ibuat tang sikahanan humbani ginoppar ni oppung sikahanan. Anggo oppung ni hasuhuton do sikahanan, humbani parsaninaon ni bapa ni hasuhuton ma ibahen parhiteianni. Tapi anggo hunjai pe sikahanon do hasuhuton, ibuat ma humbani sanina saoppung na legannari ai. Ulang ma namin sanina sabapa ni hasuhuton, ase ulang roh ganggangni ahap parsaninaon marihutkon oppung.
Bapatua ma indung (=Ketua) ni ganup sanina bani horja in. Ia ma na igoran panukkunan podah pasal paradaton. Halani ai maningon ijin do Bapatua ase goranon gok horja adat in. Porini pe lang tarpahamot manlahoi horja Bapatua, ojuron do ase ijin ia, anjaha ia ma mangabeihon hu bani sahalak saninani manluarhon sahap ni Bapatua. Pori lang tarbahensi roh, maningon todohon do na manjappung jabatan in, tapi sedo na manggassih, atene.
Suhut Pahidua ai ma ganup sanina ni hasuhuton, dihut age Bapatua nokkan, sonai age sanina sapanganonkon. Tapi, sanina sabapa pakon sanina saop-pung ni hasuhuton do tang Suhut Pahidua.
Hu bani Suhut Pahidua in ma ipaabeihon Hasuhuton Bolon ma-natang parsahapan ibagas horja adat in.
Anakboru-sanina ai ma sanina ni hasuhuton, tapi lang anggo takkas sanina sabapa atap saoppung. Somalni, sanina samorga, atap pe sanina sapanganonkon do ibahen gabe Anakboru-sanina.
Anakboru-sanina in ma manguluhon parsahapan bani horja adat. Ninggan ni hata sonari, Anakboru-sanina in ma juru bicara ni hasuhuton. Ai ma ase paima isahapkon Anakboru-sanina in sahap ni hasuhuton (bolon), palobei pakkei do ialopkon riah hubani sibiak sanina pakon sibiak boru ni Hasuhuton Bolon.
Bani horja palaho boru, hu bani Anakboru-sanina in do isurdukkon demban panungkunan.
Parnasikahaon ai ma sanina sikahanan ni anak na laho marunjuk in, somalni ibuat humbani na sanina-bapa, tapi anggo sikahanan do anak na laho marunjuk in, ibuat ma humbani sanina saoppungni.
In ma holi hasomanni manriah ni siparunjuk in.
Tulang ai ma botou ni inang ni siparunjuk in. Bani horja palaho boru, sahalak ma humbani tulang ni boru sipalahoon in manjalo demban tulang-tulang. Hu bani tulang na legannari, padalanon pe holi use apuran, ai ma pangapuranion hu bani tondong.
Ase igoran pe tulang-tulang, halani hunjin nari, gabe tulang ni tulang mando tulang ni in, halani martondong bani namatorasni ma ma boru na laho marunjuk in, marihutkon partongahjabuonni holi. Ai ma ase tarhumbaggal do somalni batu ni apuran tulang-tulang in.
Hu bani tulang ni anak na mangalop boru in, ipadalan hasuhuton parboru ma “apuran tulang ni hela”, ase sisada-boru hasuhuton parboru pakon tulang ni hela in. Paima iondoskon, palobei ipatidak ma pangapuranion in hu bani hasuhuton paranak, ase itambahi sidea batu ni dembanni, anjaha iodorhon hasuhuton paranak homa laho mangondoskon apuran in.
Anakborujabu ai ma sada humbani boru na itodoh manjolom jabatan Anakborujabu i rumah ni Suhut Bolon. Ia ma indung ni ganup boru, na manatang ganup sihoseihonon, na pabotoh-botoh ganup horja paradaton ni tondong ni in. Maningon ijin do Anakborujabu ase gok adatni horja-horja adat in. Pori lang tarbehensi roh, maningon todohon do na manjappung (sedo na manggassih) jabatan in.
Hot do jabatan Anakborujabu in sadokah ilahoi (atap ilahoi niom-bahni rossi ginopparni) do horja Anakborujabu in marsundut-sundut, anjaha lang homa dong na legan na iakkat tondongni in gabe Anakborujabu. Ai sanggah horja parunjukon ni tondongni in, domma dong hinan Anakborujabu; sanggah paunjuk anak barang palaho boru tondongni in, ia (barang anakni/ginopparni) ma use Anakborujabu. Sonai ma marsundut-sundut.
Tapi, pori lang be ijimotkon ginopparni horja Anakborujabu in (somalni halani domma dokah lang mangulaki boru tulang, barang halani lang tarlahoisi be), ra ma boru na legannari ipabangkit tondongni in gabe Anakborujabu.
Na boi pabangkiton gabe Anakborujabu, ai ma anak ni amboru ni Suhut Bolon, barang anak ni amboru ni bapani, atap anak ni botouni. Hataonkon ma tene, maningon panogolan ni oppungni, atap panogolan ni bapani, atap panogolanni sandiri do na boi angkaton gabe Anakborujabu.
Anakboru Mintori ai ma na mambuat boru ni amboru ni Suhut Bolon barang na mambuat boru ni botou ni Suhut Bolon.
Anakboru-mintori in ma indung ni ganup boru mintori, makkobaskon horja ni tondongni, ai ma boru ni Suhut Bolon. Sidea in ma na hobas, gabe hotop lang sai taridah use; somalni sanggah na padalan apuran, hiou barang gori do ase taridah Anakborumintori on, ai idilohon ma.
Parorot ai ma tang amboru ni boru na laho marhajabuan in. Ia ma na dapotan “demban parorot”.
Bani tiap horja adat, Suhut Bolon do parihutonkon manontuhon batur ni pardiha-dihaon in. Ai ma ase boi do mubah tutur ni na sada hu bani na sada nari anggo mubah ma Suhut Bolon ni horja adat.
Suhut Bolon ma homa parihutonkon mangaturhon parhundul ni si tolu-sahundulan-lima-saodoran in. I luluan ma hundul Suhut Bolon pakon Suhut Pahidua, Bapatua, Anakboru-sanina pakon sanina na legannari. I siamunni sidea in ma tondong pakon tondong-ni-tondong. Appit talaga ma boru, anjaha ipudini ma boru-mintori.
Tapang bei do sidea in ganup. Loulou nasi-bapa pakon nasi-inang. Na mararti do ai, lang ipudi ni nasi-bapa hundulan ni nasi-inang, songon bani deba suku simbalog.
Gabe bona ni tutur do homa goranan si tolu-sahundulan-lima-saodoran nokkan. Taridah do ai humbani luar ni Anakboru-sanina mamukkahkon parsahapan i loulouan paradaton. Ai nini do:”Nasiam tondongnami pakon tondong-ni-tondongnami; nasiam saninanami; nasiam borunami pakon boru-mintori-nami.”
Humbani pardiha-dihaon in ma marbona tutur barang panggoranion ni marsasahalak samah na mardiha-diha. Ai sanggah martutur na lape marsitandaan, barang na dob marsitandaan tapi lape marsibotohon tutur, palobei marsipatakkasan do atap sibiak sanina do, sibiak boru do, barang sibiak tondong do. Ai ma marhitei na marsisungkunan aha morgani, panogolan ni morga aha, morga aha tondong ni tondongni; dob masibotohan parhundul ibagas si-tolu-sahundulan-lima-saodoran, itoruskon ma use marsipatakkasan atap na samah niombah do sidea na martutur in, atap ise do sidea sibiak niombah barang sibiak pahoppu.

Tarsonon ma bagei ni tutur ni samah niombah:

Abang
mar-abang ma sianggian doppak sikahanan samah dalahi na marsanina, sonai age samah naboru na marsanina (bani deba ianan mar-kaha do samah naboru, lang mar-abang), ai ma na sabapa, na sainang legan bapa, na saoppung (na sanina bapa barang na sanina inang); tapi bani sidea na saoppung, tutur ni sibiak bapa barang sibiak inang ni sidea in ma parihutkonon; ai ma ase porini pe torasan do diri, mar-abang do diri doppak niombah ni abang ni bapadiri barang abang ni inang-diri;
mar-abang do homa dalahi hu bani paramangon ni abangni ni parinangonni;
mar-abang do homa diri hu bani anak ni tulangdiri, tarlobih ma ai sitoraskondiri; dihut ma age hu bani anak ni tulang simatua, ai ma hu bani botou ni parinangon-diri; (bani deba ianan, tarlobih i huluan, sedo mar-abang tapi mar-lae, songon na ihasomalhon i Tapanuli);
mar-abang do homa parinangon hu bani boru tulang ni paramangonni, anggo posoan do paramangonni in.

Botou
mar-botou do dalahi doppak naboru, sonai naboru doppak dalahi, na sabapa, na sainang leban bapa, na sanina bapa pakon na sanina inang;
mar-botou do homa paramangon hu bani boru ni amboru ni parinangonni;
mar-botou do homa dalahi hu bani boru ni amboruni, ai ma na igoran botou-banua; sonai ma homa suharni ai;
mar-botou do parinangon hu bani anak ni tulang ni paramangonni;

Kaha
mar-kaha ma dalahi hu bani parinangon ni abangni; sonai homa naboru hu bani paramangon ni abangni;
mar-nasi-kaha ma parinangon hu bani abang ni paramangonni.

Lawei
mar-lawei ma dalahi hu bani anak ni amboruni pakon hu bani paramangon ni botouni.

Gawei
mar-gawei ma naboru hu bani parinangon ni botouni.

Eda
mar-eda ma naboru hu bani na margaweihonsi.

Anggi
mar-anggi ma diri hu bani na marabang bendiri; mar-anggi do homa age naboru hu bani na mar-kaha bani.
mar-nasianggi ma dalahi hu bani na mar-nasikaha bani;

Besan
mar-besan (atap mar-nasibesan) ma parinangon hu bani anak ni amboru ni paramangonni, sonai hu bani paramangon ni namargaweihonsi, sonai ma homa age suharni ai; marbesan ma homa paramangon hu bani parinangon ni botou ni parinangonni; marbesan ma homa parinangon hu bani bapa ni helani; sonai ma age suharni ai.

Sonai ma homa tutur ni samah namatoras.

Tarsonon ma homa bagei ni tutur ni sibiak niombah hu bani sibiak namatorasni:

Bapa
mar-bapa (bani deba ianan mar-amang) ma anak barang boru hu bani bapa pangittubuhni; sonai age hu bani paramangon ni inangni, pori laho use inang in dob lang dong be paramangonni;
mar-bapa ma homa anak barang boru bani sanina ni bapani; ai ma: mar-bapatua hu bani na marjabatan Bapatua i loulouan parsaninaon ni bapani; mar-bapagodang hu bani tang sikahanan sanina ni bapani, sonai age hu bani anak ni bapagodang ni bapani; mar-bapa-tongah hu bani sanina ni bapani sobali tang sikahanan barang tang sianggian; mar-bapa-anggi hu bani tang sianggian sanina ni bapani, sonai age hu bani anak ni bapaanggi ni bapani;
mar-bapa do homa age bani paramangan ni sanina ni inangdiri;
mar-bapa do homa paramangon hu bani makkela ni parinangonni, sonai homa parinangon hu bani tulang ni paramangonni.

Inang
mar-inang ma anak pakon boru hu bani inang pangittubuhni, sonai age parinangon ni bapani pori mambuat boru use bapani;
mar-inang ma homa hu bani parinangon ni sanina ni bapani, ai ma: mar-inang-godang, mar-inangtongah atap mar-inang-anggi, romban hu bani tutur doppak nasi-bapa nokkan;
mar-inang ma homa age doppak sanina ni inangdiri; (ani deba ianan, mar-inangtua do hu bani tang sikahanan sanina ni inangdiri);
mar-inang do paramangon hu bani amboru ni parinangonni, sonai homa parinangon hu bani atturang ni paramangonni;

Tulang
mar-tulang ma anak age boru hu bani botou ni inangni;
mar-tulang ma paramangon hu bani bani ni parinangonni (ai ma tulang simatua); dihut ma homa ia mar-tulang hu bani tulang ni parinangonni.

Atturang
mar-atturang ma diri hu bani parinangon ni tulangdiri.

Makkela
mar-makkela diri (anak age boru) hu bani paramangon ni amborudiri, sonai homa hu bani anak ni amboru ni bapadiri;
mar-makkela ma parinangon hu bani bapa ni paramangonni (ai ma makkela simatuani);
mar-makkela ma homa parinangon hu bani makkela ni paramangonni.

Amboru
mar-amboru do anak age boru hu bani botou ni bapani, sonai age hu bani parinangon ni makkelani;
mar-amboru do homa parinangon hu bani inang ni paramangonni (ai ma amboru simatuani, sonai age sanina ni amboru simatuani in);
mar-amboru ma homa parinangon hu bani amboru ni paramangonni.

Oppung
mar-oppung ma anak age boru hu bani bapa ni bapani, sonai age bapa ni ganup bapa na legannari;
mar-oppung ma homa hu bani bapa pakon inang ni inangni, sonai bapa pakon inang ni sibiak inangni, si biak makkelani, si biak tulangni;
mar-oppung do homa hu bani oppung ni bapa-inangni, ai sibar “oppung” do hassa tutur; igoran ma oppung sisonin oppung nono halani sompat pe ia inonoi oppung ni bapa-inangni in; igoran ma in oppung nini anggo lang soppat be ia ididah oppung ni bapa-inangni in.

Inangtua
mar-inangtua ma anak pakon boru hu bani inang ni bapani. (Bani deba ianan, tutua do nini mangkatahon inangtua; tutur inang-tua ipakei hu bani sanina ni inangni tang sitorasan).

Tarsonon ma homa bagei ni tutur ni sibiak namatoras hu bani sibiak niombahni:

Anak
ai ma tutur ni bapa (pakon si biak bapa), sonai age inang (si biak inang) hu bani dalahi na marbapa/marinang hu bani.

Boru
ai ma tutur ni bapa (pakon si biak bapa), sonai age inang (si biak inang) hu bani naboru na marbapa/marinang hu bani.

Parumaen (parmaen)
ai ma tutur ni makkela (pakon si biak makkela), sonai age amboru (pakon si biak amboru) hu bani dalahi age naboru na marmakkela/maramboru hu bani; mar-parumaen do homa bapa pakon inang hu bani parinangon ni anakni.
Panogolan, ai ma tutur ni tulang hu bani anak pakon boru ni botouni.

Hela
ai ma tutur ni bapa pakon inang hu bani paramangon ni boruni.

Pahoppu
ai ma tutur ni oppung pakon inangtua hu bani anak age boru na maroppungsi / na mar-inangtuahonsi.

Tutur in ma parihutkonon hu bani ganup si-tolu-sahundulan-lima-saodoran.
Sonai ma tutur marsihaitan na sada hu bani na sadanari, partongah-jabuon ni na sada hu bani partongah-jabuon na sadanari. Anjaha anggo nairik-irik partuturan in, gabe boi do hatahonon na marsihaitan do tutur ni ganupan halak Simalungun. Ai tiap dong perkawinan mangihutkon adat Simalungun, mittor marsihaitan ma partuturan si-tolu-sahundulan-lima-saodorn ni hasuhuton parboru pakon partuturan ni si-tolu-sahundulan-lima-saodorn ni hasuhuton paranak. Deba ma in na paratahkon haitan ni pardiha-dihaon na dob dong hinan (ai ma anggo mangulaki boru tulang), debanari paimbaruhon na dob daoh hinan, debanari paubah partuturan, debanari homa manombei partuturan.
Tapi, suhar ni ai ma use na masa; ai ma, anggo rassah bani partuturan, gabe roh ganggangni pardiha-dihaon. Tarlobih ma anggo mar-tante mando diri hu bani tutur inangdiri, sonai homa hu bani tutur amborudiri, atap mar-om barang mar-paman diri hu bani sanina ni bapadiri pakon hu bani makkeladiri.
Pori lape takkas nabotoh tibal ni partuturan, boi do napakei tutur na somal paima martutur. Ai ma: mar-abang hu bani sitoraskon diri, marbotou dalahi hu bani naboru anggo tarmados do umur, atap mar-bapa hu bani paramangon na daoh torasan, mar-inang hu bani parinangon; dob nabotoh morgani, boi naparihutkon lobei morga ni inangdiri, barang paramangon ni amboru diri. Dob dapot parihutonkon tutur sisakkanan, in ma use pakeion.
Age ningon nokkan dong bei do goranan ni tutur, bani deba ianan, lang pala sai ipakei tutur nokkan doppak siposonan, tapi goranni do idilohon. Tarlobih ma doppak sibiak niombah, sibiak panogolan, si biak parumaen (ai ma anak pakon boru ni tondongni, sobali parinangon ni anakni), sibiak anggini. Gariada, bani deba ianan, malungun do uhur ni boru barang panogolanni anggo tutur ibahen mardilosi. Hira na daoh ia iahap, lang sakkan. Hassi pe sonai, sanggah bani loulouan horja adat, tutur nokkan do ipakei, atap panggoranionni marihutkon niombahni idilohon (ai ma songon Pan-Bursog, Nan-Bursog, pnl.)

Humbani pardiha-dihaon pakon partuturan nokkan, taridah do takkas, marihutkon partongah-jabuon do tang parihutonkon partuturan. Talu do tutur parmorgaon anggo domma juppah tutur marihutkon partongah-jabuon.
Nokkan pe domma nahatahon, age dos morgani, lape tottu sisada hasusuran na samorga in. Legan ma lobei anggo marsiakuan do sisada hasusuran na samorga in. Somalni, tupang ni morga in marsiakuan sisada hasusuran, songon samah Purba Pakpak, samah Saragih Garingging, samah Damanik Bariba, pnl. Anggo samah Purba dassa, lape tottu sisada hasusuran; sonai do homa age Saragih, age morga na legannari ai.
Ai ma ase hataonkon ma, budaya do mambaen dong suku Simalungun. Sedo hasusuran (atap hasusuran ni parmorgaon). Ai anggo marihutkon hasusuran barang parmorgaon do, ra do sasapnari suku Simalungun, halani bahat – gariada ra bahatan – do na susur hinan hun suku legan.
Anggo sonai, pangarusion morga mangihutkon budaya Simalungun legan do marimbang pangarusion morga bani budaya na legannari. Ongga ma naulgapi pasal Aha do Morga ibagas Majalah Ambilan pakon Barita, Nomor 124, Agustus 1984, kinaluarhon ni Kolportase GKPS.

PARUNJUKON (PERKAWINAN)

Dearan do anggo palobei na tulimati panggoranion ni bagei horja adat na marpardomuan bani parunjukon, ai ma na igoran perkawinan bani sahap Indonesia.
Dong piga-piga panggoranian na ipakei bani adat perkawinan Simalungun. Deba ma ai:
marhajabuan, marbona humbani hata jabu (=rumah); artini: marrumah-tangga;
mambuat boru, ibuat boru ase dong parinangonni; hunjin ma roh panggoranion binuatni mangkatahon parinangonni, hansi pe anggo bani parsahapan adat lang talup ipakei;
marunjuk, manlahoi horja adat na pasaudkon parrumah-tanggaon i rumah ni paranak;
moppo, dalahi na manlahoi adat parunjukon;
marpanayok, naboru na manlahoi adat parunjukon i rumah ni simatuani;
Humbani panggoranion in, mintor paltak ma arusan, marhitei na marunjuk hape gabe marrumah-tangga ma dalahi pakon naboru; marhitei na marpanayok, mubah ma hajongjongon ni naboru na marpanayok in gabe parinangon i rumah ni paramangonni, lang be anakboru hajongjongonni; marhitei na moppo, mubah ma hajongjongon ni na moppo in gabe paramangon ni parinangonni, lang be garama ia.
Horja-horja parunjukon in ihasuhutkon paranak, ipamasa sonin das boru na laho marunjuk in i rumah ni paranak. Ia sonaha pe adatni ibahen boru in laho manlakkah hu jabuni (=laho kawin), barang na ipaikkat dear, atap pe naniasokan, barang marlua-lua, dos do horja parunjukonni i rumah ni naniayakanni. Ai ma:
a) ibulangi, sonin das anakboru na laho marpanayok in i horbangan atap i alaman ni rumah ni dalahi niayakanni;
b) manlangkahi rudang saidangan i andar, sonin laho takkog hu rumah; (hassi pe sapari mando ai, paima roh agama (Kristen atap Islam));
c) marhoras-horas, sonin das i rumah;
d) ipahundul i luluan, bani apey na bayu;
e) ijujungi boras tenger;
f) padalan demban na bayu; demban paubah tutur;
g) manurdukkon indahan dapoton; lanjar irik ma mangan riap;
h) padashon hiou siluah.
Hunjin naidah, horja-horja in do na pasaudhon partongah-jabuon ni siparunjuk. Tarlobih ma ai, dob ibulangi siparunjuk naboru, gabe lang be anakboru ia, tapi parinangon ma, halani bulang do tandani na dob marhajabuan naboru. Sonai do age na ijujungi boras tenger; hunjin ma botohon na dob gabe inang (na bayu) na marpanayok in. Sapari, lang tarolati be boru na iluahon anggo domma soppat ijujungi boras tenger i rumah ni na manluahonsi. Tapi anggo lape ijujungi boras tenger, boi pe na langlangi, marhitei na iruttahon mulak. Ai ma ase sirsir do marpandihar manluahon boru sapari.

Humbani parlaho ni boru borhat hu parunjukon pe, bagei do panggoranion. Deba ma ai:
laho, makkatahon misir marunjuk, hassi pe namin arti ni laho ai ma misir, borhat;
palaho boru, ai ma horja-horja na ipamasa ni parboru laho paborhatkon boruni laho marunjuk;
alop dear, makkatahon gok do adatni sanggah roh odoran ni paranak mangalop boru in;
marlua-lua, ai ma anggo misir tumang hassa boru in laho hu parunjukonni, dob idalankon adat marlua-lua, ai ma na itadikkon dembanni bani parborasan na gabe tugah-tugah na marlua-lua ia;
na pinaikkat dear, ai ma anggo gok do adatni ibahen parboru laho paikkatkon boruni laho marunjuk;
parpaikkat, ai ma ugasan (omas, hudon, apey, pnl.) na ibere parboru sanggah paikkatkon boruni marunjuk.
Humbani panggoranion in pe mittor takkas do arusan, horja-horja parlaho ni boru dassa hapeni ganupan in. Lape horja parunjukon. Goranni pe adat palaho boru do. Lang dong panggoranion paunjuk boru. Ai anggo horja parunjukon, holi pe dob das i rumah ni paranak. Ai ma ase itappeihon dassa bulang hu panjujungni, lang ibulangkon. Marobu do nabulangi borudiri. Ai anakboru pe ia sanggah napaikkat, sedo na dob marbulang (=na dob gabe parinangon), Na laho parumaendiri do sibulangan. Ai ma ase dob das i rumah ni simatuani pe holi ase ibulangi, tanda ni na saud ma ia gabe parinangon i rumah ni paramangonni.

Humbani panggoranion in mintor takkas ma homa taridah pakkorhon ni parunjukon. Ai ma na mubah hape hajongjongon ni siparunjuk in. Garama hinan si dalahi, gabe parbapaon ma. Anakboru hinan si naboru, gabe parinangon ma.
Marhitei parunjukon in ma homa gabe sipadihuton sidea bani loulouan paradaton. Taridah do ai humbani na igorankon sidea domma marhundulan anggo domma marunjuk. Ai anggo lape marunjuk, lape dong hundulanni bani loulouan ni paradaton, age pe domma torasan. Ai ma ase ihatahon do homa, jol pe ope anggo nape marhajabuan, lape jolma.
Marhitei parunjukon in ma homa itontuhon parhundulni bani houhouan ni paradaton. Gabe sibiak sanina ma sidea i rumah ni paranak, gabe sibiak boru sidea i rumah ni hasuhuton parboru.
Gabe inang (na bayu) ma naboru siparunjuk in i louloun hasuhuton paranak, anjaha sibiak boru mando ia i loulouan ni hasuhuton parboru, age pe namatorasni do namin in. Irik homa sanggah parunjukonni in ma sah botohonni ise simatuani panukkunan podah, ise parbapatuaonni na manguluhon horja paradatonni, ise parnasikahaonni hasomanni manriah, ise anakboru-jabuni na manukkoli parrumah-tanggaonni. Ai maningon batur ma ganupan in taridah sanggah horja-horja parunjukonni.
Isurahon namarhajabuan in do ase tubuhan tuah sidea, tubuhan anak pakon tubuhan boru. Tapi sura-sura in pe orod tumang do pardomuanni pakon sura-sura laho pasayurhon parhundulni bani loulouan paradaton. Ai isurahon do ase anak ni in holi manambat lahoanni bani paradaton, anggo matua ia. Sura-sura in ma na manjuljulsi paoppohon anakni, palahohon boruni. Dob marhajabuan bei pe holi niombahni in ase salosei iahap horjani, ase goranon ia na sayur matua anggo marujung ma goluhni.
Sadalan hujin ma homa ase palobei iboan do anakni mamuhun hu bani tulangni, bani na laho marboru legan anakni in, lang mangulaki boru tulang. Sonin holi dob saud parunjukon ni anak ni in, iulakkon ma use patandangkon parunjuk in hu rumah ni tulangni, ase iboruhon tulangni in parumaenni on, ase anakni in holi manambat parhundulni gabe boru i rumah ni tondongni in.
Sonai do homa anggo tiba ma masani palaho boru. Anggo sedo maranak-ni-amboru boruni in, ipodahkon do bani siparanak na laho mangalop boruni in ase tiba anakborujabu ni parboru. Sanggah maralop pe holi, palobei isukkunhon do atap domma ipadalan paranak parhombaranni hu bani anakborujabuni. Ai marhitei parhombaran in do ase hombar holi parhundul ni boruni in pakon sibiak boru na legannari, ase ginoppar ni boru ni in holi gabe sibiak boru bani loulouan paradatonni.
Sonai ma parsayurni houhouan pardiha-dihaon marhitei parunjukon. Lang pitah pasayurhon tumang, tapi dihut do pabolagkon. Ai marhitei parunjukon, gabe mardiha-diha ma paranak pakon parboru. Marihutkon sidea ma homa gabe mardiha-diha ganup diha-diha ni paranak pakon ganup diha-diha ni parboru.
Hunjin ma takkas taridah, ihorhon parunjukon hape jongjong partongah-jabuon, anjaha marhitei partongah-jabuon gabe pasambat pardiha-dihaon, na pasayurhon age na pabolagkon. Lang marnarotap pardiha-dihaon halani igassihkon niombah do lahoan adat ni namatorasni, marsundut-sundut. Paling ma roh daohni, tapi lang anjai rotap. Lang marsittig bolag ni pardiha-dihaon hinorhon ni parunjukon. Ra, pori iirik-irik partalian ni pardiha-dihaon, ganup do samah Simalungun mardiha-diha.
Hunjin ma homa taridah hinaporlu ni padalankon adat bani horja parunjukon. Ai marhitei horja adat in ma marsijaloan na sada hu bani na sadanari, irahut parhundul bani loulouan paradaton. Anggo lang ipadalan adat perkawinan ni Simalungun, lape hataonkon marsijaloan tutur. Boi do tongon dong dalanni pardiha-dihaon, tapi lape marsijaloan. Pori napaulak hu bani hata nokkan, lape marpakkorhon halani lang ibagas adat.
Ai ma ase tang nasinurahon marhitei parunjukon, ai ma ase masuk sidea bani loulouan pakon houhouan ni paradaton. Ase hona etong sidea ibagas masyarakat adat. Age pe isurahon do tubuhan anak pakon tubuhan boru, boi do hatahonon sura-sura na pahotkon hajongjongonni do in i loulouan ni paradatan. Ai age pe lang tubuhan tuah parinangon na dob marunjuk in, hot do hajongjongonni gabe inang i loulouan paradaton ni paramangonni. Hot do homa parhundul ni in porini marujung goluh paramangonni.