LOPOU NI MANSEN PURBA SH

Ase hubahen pe lopou on aima ase dong ianan manippan lanjar paradeihon nahusuratkon sadokah ni on pakon na laho roh. Sonai homa do age tulisan atap surat ni halak pasal na huparadei in, lang tarsibar atap boi iparujahon simbuei. Hira songon perpustakaan ma on, gariada boi homa do holi gabe ianan mardiskusi.

My Photo
Name:
Location: Medan, Sumatera Utara, Indonesia

Bani KTP-ku tarsurat do: Nama lengkap: Mansen Purba SH; Jenis kelamin: Pria, Tempat/tgl. lahir: Pematang Raya, 03-06-1937. Kawin/Tidak kawin: Kawin; Agama: Protestan (ai ma Kristen Protestan); Pekerjaan: Dosen IKIP Medan (hape namin Pensiunan Pegawai Negeri Sipil, ai domma humbani tahun 1972 nari au pensiun hun IKIP Medan); Alamat: Jl. Karya No. 155; RT/RW: Lk XI; Kelurahan/Desa: K. Berombak ; Kecamatan: Medan Barat). Piga-piga hasoman na umposo, sonon do nini au: "Pak Mansen adalah tokoh awam Gereja dan tokoh budaya Simalungun yang bagi saya menjadi sumber inspirasi dan Guru." (Elvina Simanjuntak, aktivis gereja, tinggal di P. Siantar). "Tak berlebihan bila saya merasa MP dalam waktu yang singkat telah menjadi Guru bagi saya. Guru dengan G besar. Ia menjadi Guru bagi saya tentang Simalungun, tentang bagaimana 'menjadi dan sebagai' orang Simalungun yang oleh orang Simalungun kerap diartikan sebagai MarSimalungun." (Eben Ezer Siadari, wartawan) Jadi ise do ahu sasittongni? Nasiam ma simada balosni, dobkonsi ibasa nasiam nahusuratkon i lopou on. Diatei tupa ma.

27 October 2005

SITUASI, KONDISI DAN POTENSI SENI BUDAYA SIMALUNGUN

Pendahuluan
Dalam suasana heja menyongsong Jubileum 100 Tahun Injil Di Simalungun, melalui Seminar Sehari “Peranan Seni Budaya Simalungun Dalam Kehidupan Kristen”, kita diundang mempercakapkan “Situasi, Kondisi dan Potensi Seni Budaya Simalungun”. Dalam kerangka acuan seminar tercantum maksud dan tujuan kajian ini, yakni dalam rangka (1) menjemaatkan pemahaman dan pengertian tentang seni budaya Simalungun sebagai suatu nilai yang dapat memperkaya dan menyempurnakan kehidupan Kristiani, (2) mengidentifikasi potensi seni budaya Simalungun yang mempunyai peranan positif dalam menumbuhkembangkan kehidupan Kristiani, dan (3) meningkatkan komitmen dan apresiasi warga GKPS dan masyarakat Simalungun untuk mencintai dan melestarikan seni budaya Simalungun. Namun, kiranya tidak berkelebihan jika kajian ini juga dimanfaatkan untuk mempertanyakan kesetiaan gereja (dalam hal ini GKPS) melaksanakan panggilan dan suruhan “pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku . . . “ (Mat. 28, 19), sekaligus mempertanyakan kesungguhan pengakuan GKPS yang tercantum dalam “Pembukaan” Tata Gereja GKPS:“Bahwa hadirnya Injil di tengah-tengah Simalungun sejak 2 September 1903 adalah anugerah Allah yang memanggil dan menghantar Simalungun dari alam kegelapan kepada terang Firman Allah”. (“Pengakuan” ini tercantum dalam alinea ke-2 “Pembukaan” Tata Gereja GKPS yang dihasilkan Synode Bolon GKPS tahun 1973, 1988 dan 1999. Kiranya tidak perlu diragukan bahwa yang dimaksud dengan Simalungun disini adalah suku bangsa Simalungun, bukan tanoh (=negeri) Simalungun). Dengan penambahan tujuan ini, seni budaya Simalungun tidak hanya dilihat dari segi potensinya menumbuhkembangkan atau menyempurnakan kehidupan Kristiani, tetapi sekaligus melihat seni budaya Simalungun yang berkenan kepada Allah, sebagai bagian dari kasih karunia Allah “menjadikan semua bangsa menjadi muridNya”, termasuk suku bangsa Simalungun. Dengan demikian, kita terundang melestarikan seni budaya Simalungun dalam rangka kesetiaan meneruskan kehendak Allah “memanggil dan menghantar Simalungun dari alam kegelapan kepada terang Firman Allah”, bukan sekedar mengekploitasi seni budaya Simalungun untuk mencapai tujuan tertentu.

Seni Budaya Simalungun menghadapi tantangan zaman
Pada umumnya budaya turut menentukan eksistensi suatu bangsa, walaupun tidak selalu merupakan faktor penentu yang paling dominan. Seringkali suatu bangsa dibedakan dengan bangsa lainnya karena adanya perbedaan budaya.
Khusus untuk suku bangsa Simalungun, eksistensinya sebagai suku bangsa dapat bertahan hingga milenium ke-3 ini terutama berkat budayanya yang tetap berbeda dengan budaya suku bangsa lainnya.
Tanoh (=Negeri) suku bangsa Simalungun pernah terbagi dalam beberapa kerajaan (terakhir terbagi dalam 7 wilayah Kerajaan). Eksistensinya sebagai satu suku bangsa tetap bertahan karena semua kerajaan-kerajaan ini meneruskan budaya yang diwarisinya dari pendahulunya.
Dalam perjalanan sejarahnya, sebagian suku-bangsa Simalungun memilih marpuang (=bertuan, menundukkan diri) ke penguasa daerah tetangganya – seperti Deli, Serdang, Asahan, Karo. Sebagian daripadanya tetap mempertahankan budaya Simalungun sehingga tetap mendapat pengakuan sebagai suku bangsa Simalungun. Tetapi sebagian lagi menanggalkan budaya Simalungun sehingga kehilangan identitasnya sebagai suku banga Simalungun.
Sebelum Belanda berkuasa di Simalungun, setiap pendatang (dari suku bangsa lain) yang masuk ke Simalungun biasanya mengintegrasikan diri dengan cara mengadopsi kebudayaan Simalungun. Karena itu tidak heran jika banyak orang Simalungun yang walaupun secara silsilah berasal dari suku bangsa simbalog (=tetangga), namun telah menjadi orang Simalungun karena berbudaya Simalungun. Sesudah Belanda menancapkan kuku penjajahannya ke Simalungun (Kerajaan Siantar, 1888; Kerajaan Tanoh Jawa, 1889; Panei, Dolog Silou dan Raya, 1904), para pendatang tidak lagi merasa perlu mengintegrasikan diri, bahkan sebaliknya, Pemerintah Hindia Belanda mengelompokkan pendatang (terutama transmigran dari Tapanuli yang didatangkan untuk membuka persawahan untuk kepentingan buruh perkebunan). Sejak itu pulalah budaya Simalungun mendapat pengaruh yang kuat dari budaya simbalog (=tetangga diseberang perbatasan).
Selain dari masuknya budaya simbalog ke tanoh Simalungun, eksistensi Simalungun (dalam arti ancaman terhadap eksistensi budaya Simalungun) terancam juga dengan masuknya agama Islam dan agama Kristen ke Simalungun. Kedua agama ini masuk dalam waktu yang hampir bersamaan.
Penerimaan agama Islam oleh orang-orang Simalungun tempo doeloe rupanya mengubah secara drastis hasimalungunon-nya, sehingga mereka yang menerima agama Islam disebut “domma gabe Malayu” (=sudah menjadi Melayu). Selain agamanya menjadi sama dengan Melayu, budayanya juga sudah hampir sama dengan Melayu. Akhir-akhir ini, tampaknya sudah ada upaya untuk mempertahankan identitas Simalungun di kalangan masyarakat Simalungun yang beragama Islam.
Masuknya Injil ke Simalungun (sejak 1903) pada awalnya merupakan ancaman serious terhadap eksistensi budaya Simalungun.
Bahasa Simalungun terancam punah karena digunakannya Bahasa Toba sebagai bahasa pengantar dalam penginjilan dan di sekolah-sekolah (zending). Hal ini sempat berlangsung lebih 30 tahun. Berkat perjuangan yang gigih dari dua bersaudara, Pangulu Balei Jaudin Saragih dan Pendeta J. Wismar Saragih, akhirnya Bahasa Toba tidak lagi digunakan di gereja dan di sekolah-sekolah. Bahkan berkat diterbitkannya Injil dalam Bahasa Simalungun (hasil terjemahan putera Simalungun sendiri, Pendeta J. Wismar Saragih), secara tidak langsung Bahasa Simalungun mengalami pembakuan. (Tentang terjadinya pembakuan bahasa Simalungun, Pdt. J. Wismar Saragih membandingkannya dengan bahasa Jerman yang konon menjadi bahasa kesatuan Jerman berkat diterjemahkannya Injil oleh Martin Luther ke bahasa Jerman). Sukar membayangkan bagaimana nasib Bahasa Simalungun seandainya Bahasa Toba terus digunakan oleh orang Simalungun dalam kebaktian maupun di sekolah-sekolah.
Seni musik Simalungun terdesak dengan hebat di awal masuknya Injil ke Simalungun. Doding-doding Simalungun lambat laun memudar sejalan dengan semakin populernya nyanyian yang berasal dari Eropa melalui Buku Doding (=Kidung Jemaat) “Haleluya”. Hagualon bahkan sempat diperangi oleh Gereja (dalam arti mendapat larangan keras dari Gereja), karena dianggap dapat “menghidupkan kembali” hasipelebeguon/hasipajuh-begu-beguon, yakni agama lama (yang diidentikkan dengan animisme atau pemujaan berhala).
Seni berbusana khas Simalungun, khususnya pemakaian gotong dan bulang, juga semakin memudar seiring dengan semakin banyaknya orang Simalungun memeluk agama Kristen (dan Islam). Di kalangan Kristen, perkembangan tersebut antara lain disebabkan oleh masuknya budaya (=kebiasaan) Barat melalui Gereja yang memandang tidak sopan memakai penutup kepala (topi atau sejenisnya) pada saat kebaktian.
Seni melestarikan lingkungan hidup juga mengalami erosi dengan masuknya Injil. Jika dulunya terdapat pantangan-pantangan menebas hutan secara serampangan, pantangan-pantangan tersebut tidak dihiraukan lagi karena dianggap mengandung animisme. Bahkan harangan parsinumbahan di hulu sungai sekalipun ditebas habis, antara lain untuk menunjukkan (bersaksi?) keimanannya kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Aspek budaya lainnya, yakni adat perkawinan Simalungun juga turut mengalami erosi, walaupun beberapa diantaranya justru terselamatkan oleh Gereja.
Dengan dijadikannya peneguhan (pemberkatan) perkawinan di Gereja sebagai “pengesahan” perkawinan, maka horja paunjuk anak atau horja marpanayok (=perhelatan adat yang bersifat mengesahkan terjadinya perkawinan), semakin terabaikan.
Sebaliknya, adat marlua-lua (=“kawin lari”) dapat lestari karena Gereja meperkenankannya dengan syarat maningon iboan hu rumah ni Sintua (=harus dibawa ke rumah Sintua), tidak boleh dibawa langsung ke rumah keluarga pihak mempelai laki-laki (dan langsung melaksanakan horja paunjuk anak / horja marpanayok untuk memperoleh pengesahan perkawinan).
Demikian juga dengan adat pajabu parsahapan (yang dapat diartikan meminang), tampaknya akan bertahan karena Gereja mengharuskan adanya persetujuan keluarga kedua belah pihak calon mempelai agar dapat dilaksanakan kebaktian manjalo parpadanan (yang maksudnya mengadakan perjanjian akan menikah; akhir-akhir ini sering juga disebut martuppol, suatu istilah yang berasal dari Bahasa Toba).
Akhir-akhir ini, eksistensi budaya Simalungun mendapat gempuran dahsyat dari pengaruh budaya simbalog dan dari semangat nasionalisme (Indonesia) dan semangat kesukuan (haBatahon) yang berlebihan.
Walaupun GKPS sudah berusaha mendorong ditumbuh-kembangkannya kembali doding-doding khas Simalungun (yakni yang sering disebut inggou Simalungun) untuk dijadikan nyanyian pada kebaktian, namun dominasi irama yang berasal dari simbalog demikian kuatnya mendesak inggou Simalungun. Lagi pula, pencipta doding Simalungun sekaliber Taralamsyah Saragih (almarhum) atau St. A. K. Saragih tidak muncul lagi. Walaupun belakangan ini bermunculan lagu-lagu Simalungun, tampaknya ciri khas Simalungun hanya terdapat pada liriknya (syairnya), sedang inggou-nya tidak menunjukkan ciri khas Simalungun. Jika diperdengarkan tanpa syair, pendengarnya pasti mengira lagu tersebut berasal dari Tapanuli Modern, atau dari India, atau dari Amerika Latin.
Gereja juga sudah mendorong agar hagualon dihidupkan kembali (a.l. dengan mengikut-sertakannya dalam pesta-pesta gerejani). Upaya ini tampaknya menghadapi kendala karena penabuh gendang dan peniup sarunei (=sejenis alat musik tiup) sudah sangat langka akibat lamanya tekanan Gereja terhadap hagualon di masa lampau. Lagi pula, fungsi gonrang sudah diambil alih oleh “key-board” dan atau alat musik modern (termasuk tarompet yang sempat mendapat tempat terhormat di Gereja), baik dalam pesta perkawinan maupun untuk mandingguri (=menggelar musik gonrang yang dikhususkan untuk upacara berkaitan dengan kematian orangtua yang sudah bercucu). Gonrang, demikian juga dengan tortor (=tarian), hampir tidak pernah lagi digunakan dalam upacara-upacara adat. Sesekali muncul dalam pertunjukan (show), berkat adanya sponsor. Hampir tidak pernah ada show kesenian Simalungun yang dibiayai oleh penontonnya (melalui penjualan tiket).
Karena itu sudah dapat diduga, hagualon akan tenggelam diterjang pengaruh seni budaya simbalog. Tragisnya, tidak ada pula “hartawan” Simalungun yang mau menggantikan “hartawan” tempo doeloe (yakni para partuanon) melaksanakan fungsi pembina kesenian. (Di zaman Kerajaan dulu, Rumah Bolon (Istana Kerajaan/Partuanon) berfungsi sebagai pembina seni budaya. Para seniman mendapat kedudukan terhormat, boleh tinggal di Pamatang (=Ibukota) atas tanggungan Rumah Bolon).
Di bidang bahasa pun tampaknya belum muncul pejuang Bahasa Simalungun segigih Pdt. J. Wismar Saragih. Bahkan, dari mimbar gereja sudah semakin sering dikumandangkan hata tabas (=bahasa mantera), yakni bahasa “gado-gado”, mencampur-adukkan kata-kata yang bersumber dari berbagai bahasa, dengan maksud agar khotbahnya dimengerti pendengarnya dan “lebih berwibawa”.
Di bidang pelaksanaan tata upacara adat, Gereja tampaknya bersikap enggan menggunakan pengaruhnya. Gereja seolah sudah cukup puas jika dalam rangkaian tata upacara adat diselipkan doa dan kidung jemaat, sebelum dan sesudah makan bersama, atau sebelum dan sesudah menyampaikan pidato penghiburan pada tata upacara menghadapi peristiwa kematian. Bahkan Gereja tidak mempunyai kepedulian terhadap perikehidupan yang penuh kepura-puraan yang sering terjadi dalam pelaksanaan upacara adat, yakni upacara adat yang dilakukan tanpa memahami makna yang terkandung di dalam tata upacara tersebut, semata-mata hanya sekedar “pertunjukan” (show).
Perkembangan situasi dan kondisi tersebut jelas sangat mengkhawatikan bagi eksistensi seni budaya Simalungun. Jika kelak tidak ada perbedaan yang nyata antara seni budaya Simalungun dengan seni budaya suku bangsa lainnya, - misalnya sudah sama dengan seni budaya Toba - maka dengan sendirinya seni budaya Simalungun tidak ada lagi. Dengan sendirinya pula suku bangsa Simalungun tidak eksis lagi. Jika tidak ada upaya yang sungguh-sungguh untuk mempertahankan eksistensi seni budaya Simalungun, tampaknya suku bangsa Simalungun tidak ada lagi pada Jubileum 200 Tahun Injil di Simalungun. Sehingga sia-sialah “anugerah Allah yang memanggil dan menghantar Simalungun dari alam kegelapan kepada terang Firman Allah”.

Potensi Seni Budaya Simalungun
Kiranya sudah cukup jelas bahwa seni budaya Simalungun (khususnya bahasa, kesenian, adat istiadat) sangat potensial dalam upaya menyelamatkan eksistensi suku bangsa Simalungun, dalam upaya memenuhi panggilan dan suruhan “pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku . . . “ (Mat. 28, 19).
Dalam hubungan ini, patut dicatat bahwa GKPS sudah memprogramkan pelestarian budaya, khususnya budaya Simalungun (seni budaya, khususnya Bahasa Simalungun, kesenian serta adat istiadat, khususnya Simalungun). Program Budaya ini dimasukkan dalam kelompok program “Pelayanan”. Program ini dilandasi pokok pikiran: GKPS bertanggungjawab melestarikan nilai-nilai budaya sebagai pemberian Tuhan. (“Pelayanan” terdiri atas pelestarian lingkungan, pendidikan dan pengajaran, peningkatan kesejahteraan, pengasihan, dan budaya. Lihat “Garis-Garis Besar Kebijaksanaan Umum (GBKU) GKPS” dan “Program Lima Tahun (Prolita) GKPS” Tahun 2000-2005).
Sayangnya, pokok pikiran yang melandasi program pelestarian budaya Simalungun tersebut tampaknya dapat juga digunakan untuk mempercepat proses memudarnya seni budaya Simalungun diterjang budaya simbalog, sebab budaya simbalog pun termasuk juga budaya pemberian Tuhan.
Akan sangat lebih tepat, jika program pelestarian budaya Simalungun tersebut didasarkan pada pokok pikiran: GKPS bertanggungjawab melestarikan budaya Simalungun dalam rangka kesetiaan melaksanakan panggilan dan suruhan “pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku . . . “.
Seni budaya Simalungun juga terbukti sangat potensial menyukseskan penginjilan di Simalungun. Seperti sudah dikemukakan tadi, dalam 25 tahun pertama penginjilan di Simalungun, potensi seni budaya Simalungun (dalam hal ini Bahasa Simalungun) disepelekan. Bahkan, pengabaian Simalungun sebagai suku bangsa jelas terlihat dari bunyi telegram RMG kepada Nommensen, yang melihat tanoh Simalungun sebagai Timorlanden (=tanah/negeri sebelah Timur (?)). Karena itu penginjil yang datang ke Simalungun memaksakan digunakannya Bahasa Toba sebagai bahasa pengantar penyampaian Injil (dan di sekolah-sekolah). Ternyata dalam 25 tahun pertama penginjilan di Simalungun, hanya 900 orang yang berhasil dibaptis, itupun sebagian diantaranya bukan karena sudah beriman kepada Yesus, tetapi karena ingin melanjutkan pendidikan. (Ketika itu, hanya yang sudah dibaptis yang diperkenankan melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi (seperti ke Sekolah Guru). Pdt. J. Wismar Saragih dan Guru Jason Saragih, putera Simalungun pertama menjadi Guru, termasuk mereka yang mau menerima baptisan untuk mendapatkan izin melanjutkan studi. (Lihat Otobiograpi J. Wismar Saragih dan Mansen Purba SH “Guru Dihar Gabe Sekolah Minggu” (judul asli: Guru Dihar gabe Sekolah Guru) dalam Majalah Bulanan Ambilan Pakon Barita No. 336/April 2002). Sejak Bahasa Simalungun digunakan sebagai bahasa pengantar penginjilan, jumlah yang menerima baptisan meningkat dengan pesat.
Budaya adat Simalungun juga patut diduga sangat potensial dalam penginjilan. Kongsi Laita, yakni kelompok penginjilan yang dibentuk kaum awam tahun 1930, memanfaatkan hubungan kekerabatan dalam melaksanakan penginjilan. Terkadang disertai dengan tata cara yang lazim dilakukan menurut aturan adat jika berkunjung ke kerabatnya, seperti menyampaikan sekapur sirih sebelum mengutarakan maksud kedatangannya, membawa makanan (hidangan adat), memulai percakapan dengan terlebih dahulu martutur (yang maknanya saling menelusuri hubungan kekerabatan), dll. (Lihat St. P. Saragih Partisipasi Warga Gereja Dalam Pekabaran Injil, SPI GKPS (Kongsi Laita, PSK, SK) dalam “AB” No. 53 Terbitan Khusus (Tahun 1978) Jubileum 75 Tahun GKPS).
Dalam membina kehidupan Kristiani juga, nilai-nilai yang terkandung dalam budaya Simalungun cukup potensial. Beberapa terminologi yang berasal dari budaya Simalungun sudah diadopsi Gereja, seperti terminologi Naibata, suatu terminologi yang digunakan hanya untuk satu-satunya Yang Maha Kuasa, yang dianggap Maha Adil; Na Pansing dalam terminologi Tonduy Na Pansing dan Horja Banggal Na Pansing konon terambil dari terminologi demban pansing, yakni sirih dipetik dan dibawa secara cermat agar tidak ternoda kesuciannya; manggalang/galangan yakni suatu terminologi yang hanya digunakan untuk persembahan kepada kekuatan gaib, jauh berbeda maknanya dibandingkan dengan “persembahan” dalam Bahasa Indonesia, karena “persembahan” tidak hanya dialamatkan kepada kekuatan gaib, tetapi juga kepada “orang yang dipertuan”.
Jika GKPS berkenan memperlihatkan kepeduliannya kepada seni budaya (khususnya adat) Simalungun, kiranya tidak terlalu sukar untuk memanfaatkan potensi nilai-nilai budaya memperkaya kehidupan Kristiani anggotanya. Misalnya: Lembaga Tolu Sahundulan Lima Saodoran dapat dijadikan rangkaian mata rantai pengikat kekerabatan; kesetaraan laki-laki dan perempuan, bahkan tingginya martabat perempuan menurut budaya adat Simalungun, dapat dimanfaatkan untuk membendung kecenderungan merendahkan martabat perempuan. (Lihat Mansen Purba SH Tolu Sahundulan Lima Saodoran dalam Ambilan Pakon Barita No. 337/Mei 2002; Hinatunggung ni Naboru bani Budaya Adat Simalungun dalam Ambilan Pakon Barita No. 340/Agusttus 2002).
Contoh lainnya yang sangat mungkin besar manfaatnya memperkaya dan menyempurnakan kehidupan Kristiani adalah:
· Keluhuran nilai budaya yang terkandung dalam tuppak, yakni suatu pemberian berupa uang (atau barang, lazimnya beras) yang dilandasi oleh rasa turut bertanggungjawab meringankan beban sesamanya, dan karena itu tidak sekedar “membayar” hidangan yang dimakan. (Pada Pesta Jubileum 80 Tahun Injil di Simalungun (yang dipusatkan di Medan), Panitia hanya mengingatkan anggota Jemaat tentang adanya kelaziman membawa tuppak jika menghadiri Pesta. Ternyata Panitia cukup kewalahan menerima tuppak karena spontanitas warga GKPS membawa tuppak untuk Pesta Jubileum tersebut).
· Keluhuran nilai budaya manghioui, yakni yang melambangkan pernyataan terjalinnya (atau semakin eratnya jalinan) kekerabatan diantara orang yang manghioui dengan yang di-hioui, maupun yang melambangkan adanya ikatan yang erat (atau semakin erat) diantara pasangan yang di-hioui, sesungguhnya dapat digunakan dalam peneguhan perkawinan, yakni sang Pendeta manghioui sepasang mempelai, melambangkan na pinadomu ni Naibata, lang boi sirangon ni jolma;
· keluhuran nilai budaya yang terkandung dalam perkataan horas, kiranya tidak terlalu berbeda kandungan nilainya dengan perkataan syalom; demikian juga dengan perkataan diatei tupa, yang selain mengucapkan terimakasih, sekaligus juga bermakna “syukur kepada Tuhan” dan “terpujilah Tuhan”.
Nilai budaya yang bersumber dari hagualon dapat memperkaya kehidupan Kristiani. Jika dalam mengawali kebaktian dikenal apa yang dinamakan Praelidium, yakni musik atau nyanyian pendahuluan sebelum memasuki acara pokok, maka dalam hagualon juga ada sejenis praelidium yang disebut parahot, tetapi bukan sekedar musik pendahuluan, tetapi gual yang ditujukan kepada Yang Maha Kuasa, dan karena itu lazimnya tidak untuk itortorhon (bukan musik untuk menari).
Selain untuk mengambil manfaat dari nilai luhur budaya, penggunaan seni budaya dalam berkomunikasi dengan Tuhan juga bermanfaat untuk membangkitkan harga diri (karena jatidirinya sebagai Simalungun ternyata berkenan kepada Tuhan). Hal ini terutama sangat potensial dalam menghadapi pandangan simbalog yang bersifat sugestif merendahkan martabat dan harga diri suku bangsa Simalungun. Terkadang, orang Simalungun sendiri tersugesti sehingga ikut latah merendahkan martabat suku bangsanya sendiri.

Penutup
Dengan mengemukakan beberapa pandangan tadi, berikut beberapa contoh tadi, kiranya warga GKPS terundang untuk lebih memahami betapa pentingnya pelestarian seni budaya Simalungun, dalam arti melestarikan seni budaya yang membedakan Simalungun dengan suku bangsa lainnya. Sepanjang budayanya dapat dipertahankan berbeda dengan budaya suku bangsa lainnya, maka sepanjang itu pulalah eksistensi Simalungun sebagai suku bangsa dapat bertahan. Sebaliknya, pada saat Simalungun kelak tidak mau lagi mempertahankan adanya perbedaan budaya yang nyata dengan budaya suku bangsa lainnya, maka Simalungun sebagai suku bangsa akan lenyap dari bumi ini, dan karena itu sia-sialah anugerah Allah yang memanggil dan menghantar Simalungun dari alam kegelapan kepada terang Firman Allah.
Dalam hubungan ini, kiranya GKPS perlu menyadari perannya yang sangat potensial dalam upaya pelestarian seni budaya Simalungun. Pengalaman sejarah telah membuktikannya. Pada saat Bahasa Simalungun menghadapi ancaman kepunahan, Gereja menyelamatkan Bahasa Simalungun (karena ternyata Allah sendiri berkenan memakai Bahasa Simalungun menjadi bahasa-Nya menyapa Simalungun).
Sebaliknya juga sama halnya. Ketika seni budaya “diperangi” oleh Gereja di masa silam, ternyata Gereja memenangkan “perang” tersebut. Karena itu Gereja juga pasti menang dalam “pertarungan” menyelamatkan seni budaya Simalungun, apalagi jika “pertarungan” tersebut dianggap sebagai langkah pertobatan dari kekeliruannya “memerangi” seni budaya Simalungun di masa silam.
Semoga Jubileum 100 Tahun Injil di Simalungun dijadikan tonggak sejarah bangkitnya kembali hasimalungunon, sehingga kelak Simalungun masih boleh merayakan Jubileum 200 Tahun Injil di Simalungun.

Jakarta, 24 Agustus 2002.


Catatan:
Makalah ini disampaikan oleh St. Mansen Purba SH pada Seminar Sehari Peranan Seni Budaya Simalungun Dalam Kehidupan Kristen, Jakarta, 24 Agustus 2002.

Bulang adalah sehelai kain tenunan berbentuk selendang dengan corak tersendiri (berbeda dengan corak tenunan khas Simalungun lainnya) digunakan oleh perempuan sebagai penutup kepala sekaligus pertanda bahwa dia sudah menikah. Baik gotong maupun bulang berfungsi untuk menyembunyikan rambut.
Doding=nyanyian; yang dimaksud dengan doding Simalungun, yakni nyanyian yang mempunyai irama khas Simalungun, yang sering disebut inggou.

Gotong adalah sehelai kain empat persegi (biasanya bercorak batik) yang digunakan oleh laki-laki dewasa sebagai tutup kepala, dengan cara melilitkannya di kepala.

Gual, Hagualon=seni musik menggunakan seperangkat alat musik khas Simalungun. Pdt. A. Munthe, MTh., dalam makalahnya Peluang dan Tantangan Pelayanan Gereja Ditinjau dari Potensi Sosial Budaya pada Seminar Sehari Peluang dan Tantangan Pelayanan Gereja Dalam Masyarakat Majemuk (Medan, 13 April 2002) mencatat bahwa Ruhut Paminsangon (=Peraturan Siasat) GKPS tahun 1971 masih melarang gonrang (=seperangkat alat musik) yang berkaitan dengan berhala. Kini ketentuan tersebut tidak ada lagi.

Harangan parsinumbahan (=hutan tempat menyembah kekuatan gaib). Dalam suatu percakapan, Prof. Dr. Bungaran Saragih, MEc. menyatakan pendapatnya bahwa masuknya Injil ke Simalungun turut bertanggungjawab atas rusaknya hutan di daerah Simalungun. Karena itu beliau mengusulkan agar momentum Jubileum 100 Tahun Injil di Simalungun dimanfaatkan untuk membayar hutang kepada Simalungun dengan cara menghijaukannya kembali, khususnya lahan-lahan yang seharusnya tetap difungsikan sebagai hutan. (Lihat juga Mansen Purba SH Hutan Doa, Heja Marsibahen Haranganni, Majalah Bulanan “Ambilan pakon Barita” No. 338 Juni 2002, hal. 37).

Heja - Dalam khotbah dan sambutannya ketika meresmikan terbentuknya Panitia Bolon Jubileum 100 Tahun Injil Di Simalungun (di GKPS Pematang Raya, 9 Desember 2001), Ephorus GKPS, Pdt. DR. Edison Munthe, MTh., menggunakan kata heja untuk menyampaikan harapannya agar hendaknya semua warga GKPS bergegas menyibukkan diri menyongsong Jubileum 100 Tahun Injil Di Simalungun. Perkataan heja memang digunakan Simalungun untuk menggambarkan kesibukan yang luar biasa, lahiriah dan batiniah, mempersiapkan peristiwa penting dalam kehidupannya (seperti: mempersiapkan perkawinan puteranya, horja paunjuk anak), sehingga terkesan seolah lupa meluangkan waktu untuk beristirahat, demi suksusnya horja tersebut. Kemungkinan kesan “lupa diri” ini yang membuat heja diartikan “tidak menghargai diri sendiri” dalam Kamus Simalungun Indonesia, (oleh St. J. E. Saragih, diterbitkan Kolportase GKPS, Pematang Siantar, 1989). Kata yang hampir sama artinya (tetapi dalam konotasi yang berbeda), adalah hettus (=sibuk).

Hiou, Manghioui (asal kata hiou=kain/pakaian adat) dilakukan dengan cara melilitkan sehelai hiou melalui pundak seseorang atau sepasang suami isteri, serta mempertemukan kedua ujung hiou tersebut di pangkuan orang(-orang) yang di-hioui. Akhir-akhir ini sering juga disebut mangulosi (Bahasa Toba).

Horja paunjuk anak atau horja marpanayok (=perhelatan adat yang bersifat mengesahkan terjadinya perkawinan). Menurut adat Simalungun, sahnya perkawinan ditandai dengan serangkaian upacara di rumah keluarga pihak mempelai laki-laki, yakni: mempelai perempuan disambut dengan menyalinkan bulang (mambulangi, yang sekaligus merupakan pertanda peralihan status tidak kawin menjadi status kawin); mempersilahkan kedua mempelai duduk bersanding di luluan (pahundulhon hu luluan; luluan=sebelah hulu); pajujungkon boras tenger (meletakkan beras ke kepala kedua mempelai). Jika upacara adat tersebut belum dilangsungkan, status kedua mempelai dianggap belum sah menjadi suami isteri.

Marlua-lua (=“kawin lari”). Hanya di Simalungun terdapat aturan adat marlua-lua (“kawin lari”). Pada suku bangsa lainnya “kawin lari” melanggar aturan adat, karena memang tidak diatur dalam adat.

Pangulu Balei, nama jabatan yang fungsinya sama dengan Sekretaris Daeah, diangkat sebagai Pegawai Negeri oleh Pemerintah Hindia Belanda.

Tabas=mantera. Disebut hata tabas (=bahasa mantera), karena tabas biasanya menggunakan kata-kata yang dipinjam dari berbagai bahasa (Toba, Mandailing, Melayu, Arab) dengan maksud mengundang “kekuatan” dari berbagai penjuru untuk memperkuat kesaktian tabas.

Tanoh dapat diartikan Negeri; tanoh Simalungun yakni negeri atau daerah yang dihuni suku bangsa Simalungun. Terbaginya daerah Simalungun dalam beberapa kerajaan dimulai sejak adanya invasi Aceh ke hampir seluruh Sumatera pada abad ke-16. Sebelum terbagi dalam beberapa kerajaan, daerah Simalungun berada dalam wilayah satu kerajaan, yakni Kerajaan Nagur. Adanya 7 Kerajaan di Simalungun mendapat pengakuan sejak ditandatanganinya Perjanjian Pendek (Korte Verklaring) antara Belanda dengan Raja-Raja di Simalungun tahun 1907. Lihat juga Mansen Purba SH, Rondahaim, Sebuah Kisah Kepahlawanan Menentang Penjajahan di Simalungun; Penerbit Bina Budaya Simalungun, Medan, 1993.

Timorlanden (=tanah/negeri sebelah Timur). Bunyi telegram menandai dimulainya penginjilan di Simalungun, yakni: Tole den Timorlanden das Evangelium (Lihat Pimpinan Pusat GKPS, Ephorus Pdt. A. Munthe dan Sekretaris Jenderal Pdt. H. M. Girsang Jubileum 75 Tahun GKPS, Tole, Nunquam Retrorsum dalam “AB” No. 53 Terbitan Khusus (Tahun 1978) Jubileum 75 Tahun GKPS). Sebelum tahun 1903, nama “Simalungun” belum sering digunakan. Penulis (asing) biasanya menggunakan sebutan “Batak Timur” untuk membedakannya dengan “Batak” lainnya.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home