LOPOU NI MANSEN PURBA SH

Ase hubahen pe lopou on aima ase dong ianan manippan lanjar paradeihon nahusuratkon sadokah ni on pakon na laho roh. Sonai homa do age tulisan atap surat ni halak pasal na huparadei in, lang tarsibar atap boi iparujahon simbuei. Hira songon perpustakaan ma on, gariada boi homa do holi gabe ianan mardiskusi.

My Photo
Name:
Location: Medan, Sumatera Utara, Indonesia

Bani KTP-ku tarsurat do: Nama lengkap: Mansen Purba SH; Jenis kelamin: Pria, Tempat/tgl. lahir: Pematang Raya, 03-06-1937. Kawin/Tidak kawin: Kawin; Agama: Protestan (ai ma Kristen Protestan); Pekerjaan: Dosen IKIP Medan (hape namin Pensiunan Pegawai Negeri Sipil, ai domma humbani tahun 1972 nari au pensiun hun IKIP Medan); Alamat: Jl. Karya No. 155; RT/RW: Lk XI; Kelurahan/Desa: K. Berombak ; Kecamatan: Medan Barat). Piga-piga hasoman na umposo, sonon do nini au: "Pak Mansen adalah tokoh awam Gereja dan tokoh budaya Simalungun yang bagi saya menjadi sumber inspirasi dan Guru." (Elvina Simanjuntak, aktivis gereja, tinggal di P. Siantar). "Tak berlebihan bila saya merasa MP dalam waktu yang singkat telah menjadi Guru bagi saya. Guru dengan G besar. Ia menjadi Guru bagi saya tentang Simalungun, tentang bagaimana 'menjadi dan sebagai' orang Simalungun yang oleh orang Simalungun kerap diartikan sebagai MarSimalungun." (Eben Ezer Siadari, wartawan) Jadi ise do ahu sasittongni? Nasiam ma simada balosni, dobkonsi ibasa nasiam nahusuratkon i lopou on. Diatei tupa ma.

05 June 2008

SEJARAH SIMALUNGUN 1)

oleh Mansen Purba SH


Judul makalah yang diminta dari saya adalah Sejarah Simalungun dan Pesannya Bagi Generasi Muda. Judul tersebut menimbulkan dugaan, generasi muda Simalungun ingin mendiskusikan sejarah Simalungun. Mungkin didorong oleh keingin-tahuan yang sedang ditumbuh-kembangkan di kalangan mahasiswa. Mungkin juga karena ingin mendengar aneka versi sejarah Simalungun yang tampaknya memang masih ada beberapa versi. Atau mungkin juga hanya karena latah mau ikut-ikutan martarombo, yakni menelusuri silsilah marga dari penuturan secara lisan dari satu generasi ke generasi berikutnya dan di abad ke-20 baru-baru ini dituliskan dan dianggap sebagai sejarah walaupun tanpa menggunakan metode penelitian sejarah.

Sementara itu, judul tadipun masih perlu penjelasan apa yang dimaksud dengan ‘Simalungun’. Pada hakekatnya, ‘Simalungun’ adalah sebuah nama.

Sejak awal abad ke-20, nama ‘Simalungun’ digunakan oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk wilayah pemerintahan bawahan dari wilayah Keresidenan Sumatera Timur, yakni yang disebut Simeloengoen en Karolanden. Yang dimaksud dengan Simeloengoen (=Simalungun) adalah Kerajaan Siantar, Kerajaan Tanoh Jawa, Kerajaan Panei, Kerajaan Dolog Silou, Kerajaan Raya, Kerajaan Purba dan Kerajaan Silimakuta, yang masing-masing menandatangani semacam perjanjian (dikenal sebagai Korte Verklaring, ‘Perjanjian Pendek’) dengan Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1904 (dan diperbaharui tahun 1907).

Hampir bersamaan dengan pembentukan wilayah pemerintahan Simeloengoen en Karolanden tadi, nama ‘Simalungun’ digunakan sebagai nama suku bagi penduduk yang menghuni 7 Kerajaan-Kerajaan di Simeloengoenlanden tadi. Sebagai nama suku, sebutan ‘Simalungun’ digunakan untuk keseluruhan penduduk 7 Kerajaan-Kerajaan tadi, walaupun sebutan ‘Simalungun’ jarang digunakan penduduk (dan pemerintahan) masing-masing Kerajaan, karena mereka tetap membedakan penduduknya dengan sebutan dalam bahasa Simalungun, yakni dengan menggunakan kata sin atau par, misalnya sin Raya, sini Panei, sini Purba, par Siantar.

Sejak masa itu pulalah nama Simalungun sering digunakan sebagai nama suku. 2) Tetapi tidak hanya untuk penduduk 7 Kerajaan-Kerajaan tadi, tetapi semua penduduk Sumatera Utara yang mempunyai budaya yang sama dengan budaya penduduk yang ada di 7 Kerajaan-Kerajaan tadi, yang tersebar di Deli Serdang (dan Bedagai), di Asahan, di Dairi, di Karo.

Bersamaan dengan digunakannya sebutan ‘Simalungun’ sebagai nama suku, sebutan yang digunakan sebelumnya, yakni ‘Batak Timur’, atau ‘Timoerlanden’, semakin jarang digunakan.

Satu suku bangsa dibedakan dari suku bangsa lainnya karena adanya perbedaan budaya. Saya sering mengatakan kepada sesama Simalungun, budaya do palegankon Simalungun humbani suku bangsa na legan. Simalungun akan tetap ada dan eksis (walaupun populasinya tidak banyak) jika halak Simalungun mempertahankan budaya yang membedakannya dari suku bangsa lain. Sebaliknya, jika tidak mau lagi mempertahankan budaya yang membedakannya dengan suku lain, dan lebih suka ‘menyesuaikan’ diri dengan budaya suku lain, halak Simalungun akan menghilang dari muka bumi ini.

Dulu, penduduk halak Simalungun yang menundukkan diri ke budaya suku Melayu, diberi julukan domma salih gabe malayu. Baik karena memeluk agama Islam, atau karena pindah ke wilayah yang penduduknya halak Melayu, atau karena manundalhon arihan (yakni yang bermakna membelot dari Kerajaan yang ada di sukunya, untuk kemudian menundukkan diri kepada penguasa wilayah di luar Simalungun). Ada juga yang salih jadi Karo, biasanya karena tinggal di wilayah yang berpenduduk Karo.

Sebaliknya, halak Toba (dan atau par Samosir) banyak yang salih jadi Simalungun. Konon, menurut TBA Purba Tambak (almarhum), sejak awal berdirinya Harajaon Dolog Silou, 3) sudah ada marga Simarmata dan marga Sipayung di Dolog Silou, dan tidak ada marga Sinaga. Mereka itu sudah salih menjadi Simalungun. Proses salih terjadi karena seseorang meninggalkan budaya asalnya dan menjadikan budaya setempat menjadi budayanya.
Jadi, dalam pengertian budaya do palegankon suku bangsa, Simalungun akan tetap eksis sebagai salah satu suku bangsa di Indonesia (dan dunia) sepanjang masih ada yang memelihara budayanya, yakni yang disebut budaya Simalungun, sepanjang masih ada yang mau menjadi halak Simalungun (dalam arti berbudaya Simalungun).

Dengan demikian mudah-mudahan semakin jelas apa yang kita maksud dengan ‘Simalungun’ dalam konteks ‘Sejarah Simalungun’. Ternyata yang kita mau diskusikan bukan ‘Sejarah Kabupaten Simalungun’, bukan asal usul (tarombo) halak Simalungun, tetapi sejarah suku bangsa yang kini masih eksis sebagai salah satu suku bangsa yang mempunyai budaya yang berbeda dengan suku bangsa lainnya (walaupun ada persamaan), yang sejak awal abad ke-20 dinamakan suku Simalungun, dan budayanya disebut budaya Simalungun.

Seperti sudah dikemukan tadi, sejak awal abad ke-20 sebutan Simalungun semakin sering digunakan kepada satu suku bangsa yang tinggal di 7 Kerajaan di wilayah Simeloengoenlanden dan wilayah-wilayah sekitarnya (yang kemudian dimasukkan menjadi wilayah pemerintahan yang bertetangga dengan 7 Kerjaan tadi (yang kini menjadi Kabupaten Deli Serdang, Serdang Bedagai, Kota Tebing Tingi, Kabupaten Asahan, Kabupaten Tobasa, Kabupaten Dairi, Kabupaten Karo). Sebelumnya, lebih sering digunakan nama kewarga-negaraan penduduk, seperti sini Panei (untuk rakyat Kerajaan Panei), par Sordang (sebutan untuk rakyat Kesultanan Serdang). Sementara ‘orang luar’ yang datang berkunjung atau meleliti ke wilayah yang dihuni halak Simalungun, lebih suka menggunakan sebutan Batak Timur, mungkin karena berdiam di wilayah sebelah Timur rumpun-suku Batak lainnya.
Di kalangan penulis halak Simalungun, masih banyak yang berpendapat bahwa sebelum Belanda melebarkan sayap penjajahannya ke wilayah berpenduduk Simalungun (dan menemukan fakta adanya 7 Kerajaan), terdapat 4 Kerajaan di Simalungun, yang disebut Raja Maroppat, yakni Silou, Panei, Siantar dan Tanoh Jawa. Bahkan ada yang yakin bahwa sebutan Raja Maroppat adalah konsep Simalungun. Sudah pernah saya kemukakan bahwa sebutan Raja Maroppat berasal dari konsep tuha peuet-nya Kesultanan Aceh saat meluaskan pengaruhnya ke kawasan Sumatera Timur. Namun pendapat tadi tidak berubah. 4)

Ada pula yang berpendapat, sebelum ada Raja Maroppat, hanya ada satu Kerajaan, yakni Kerajaan Silou.

Tetapi dalam satu hal. sepertinya semuanya sepakat, yakni tadinya hanya satu Kerajaan, yakni Kerajaan Nagur.

Jika kelak dapat diterima sebagai kebenaran sejarah bahwa rakyat Nagurlah yang mewariskan kebudayaan yang di kemudian hari dikenal dengan sebutan kebudayaan Simalungun, maka hal itu berarti kebudayaan Simalungun sudah teruji di wilayah ini selama lebih kurang 14 abad, karena konon Nagur sudah tercantum dalam naskah Cina dari abad ke-6, masih eksis dan dicatat oleh Marco Polo (abad ke-13) dengan nama ‘Nagore’ atau ‘Nakur’, masih eksis pada saat Pinto mencatat (abad ke-16) bahwa Nagur meminta bantuan Portugis yang berkedudukan di Malaka karena mendapat serangan dari Aceh, dan bahwa Encyclopedi Ned. Indie mencatat Nagur dapat bertahan dari invasi Johor dan Siak. Ketika pada penghujung abad ke-19 Belanda menginjakkan kakinya ke wilayah yang dihuni penduduk pewaris kebudayaan rakyat Nagur tadi, masih ditemuinya kebudayaan yang sama di 7 Kerajaan yang di kemudian hari disebutnya sebagai kawasan Simeloengoen, bahkan sama dengan kebudayaan sebagian rakyat yang tersebar di sekeliling Simeloengoen.

Menjadi jelas kiranya, dengan memberikan judul ‘Sejarah Simalungun’ sebagai awal diskusi kita di seminar kali ini, penyelenggara seminar mencoba manarik minat kita untuk senantiasa bertanya mau dikemanakan Simalungun ini.

Mungkin pertanyaan itulah yang mengilhami penyelenggara seminar untuk menambahkan kata-kata ‘dan Pesannya Bagi Generasi Muda’, sehingga judul yang dimintakan kepada saya adalah Sejarah Simalungun dan Pesannya Bagi Generasi Muda.

Sengaja saya menghindar dari memberikan pesan, karena pesan yang diselipkan pada penulisan sejarah akan bias dengan objektipitas yang dibutuhkan oleh sejarah.***



1) Makalah yang disampaikan pada Seminar Sejarah dan Eksistensi Simalungun yang diselenggarakan oleh HIMAPSI UNIMED tanggal 31 Mei 2008.

2) Banyak yang berpendapat bahwa Simalungun adalah sub suku atau sub etnik, yakni sub dari suku Batak. Namun saya makin meragukannya, karena tampaknya yang ada adalah suku Toba, suku Anggkola dan Mandailing, suku Karo, suku Simalungun, dan suku Pakpak (mudah-mudahan urutannya sesuai dengan populasi masing-masing suku). Berdasarkan adanya beberapa persamaan budayanya, peneliti mengelompokkan suku-suku tadi (termasuk Gayo?) menjadi rumpun suku yang disebut ‘Batak’. Yang berarti tidak ada suku Batak. Dengan demikian, Simalungun adalah salah satu suku dalam rumpun Batak.

3) Kerajaan Dolog Silou muncul menggantikan Kerajaan Silou yang terpecah dua. Menurut perhitungan beliau, terjadi pada pertengahan abad ke-17.

4) Prof. Dr. W.B. Sijabat mengakui “dari data-data yang telah terkumpul dapat kita ketahui bahwa system raja berempat ini ialah hasil pengaruh system pemerintahan di Aceh yang diterapkan di Sumatera Utara”. Lihat
Rondahaim, sebuah kisah kepahlawanan menentang penjajahan di Simalungun, Bina Budaya Simalungun; Medan – 1993; hal. 48